Tujuan hukum islam (maqashid syar’iah) maksudnya adalah nilai-nilai yang
terkandung dalam aturan islam. Tujuan akhir dari hukum islam pada dasarnya
adalah kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. Berikut ini merupakan
beberapa tujuan hukum islam, yaitu :
- Pemeliharaan atas keturunan.
Hukum islam telah menetapkan aturan-aturan beserta hukum yang bertujuan
mencegah terjadinya kerusakan atas nasab dan keturunan manusia. Contohnya islam
melarang zina dan menghukum pelakunya. Dalam firman Allah SWT pada surat
Al-Isra ayat 32 yang berbunyi :
wur (q/tø)s? #oTÌh9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. Zpt±Ås»sù uä!$yur WxÎ6y ÇÌËÈ
Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.
- Pemeliharaan atas akal
Islam menetapkan aturan yang melarang umatnya untuk mengkonsumsi segala
sesuatu yang dapat merusak akal. Dan islam mengharamkan minuman yang memabukkan
dan merusak ingatan, seperti alkohol, ganja, dan narkoba. Dan di sisi lain,
Islam mewajibkan umatnya agar menuntut ilmu dan berpikir untuk mengembangkan
kemampuan akal. Allah SWT memuji orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan.
Dalam firman Allah SWT pada surat Az-Zumar ayat 9 yang berbunyi :
ö@è% ö@yd ÈqtGó¡o tûïÏ%©!$# tbqçHs>ôèt tûïÏ%©!$#ur w tbqßJn=ôèt 3 $yJ¯RÎ) ã©.xtGt (#qä9'ré& É=»t7ø9F{$# ÇÒÈ
Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan
orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah
yang dapat menerima pelajaran.
- Pemeliharaan atas kemuliaan atau kehormatan
Islam melindungi umatnya dari penghinaan atau pencemaran nama baik. Oleh
karena itu, bagi siapa saja yang menuduh seseorang berzina tanpa bukti,
hukumannya akan berbalik kepada penuduhnya. Banyak aturan lain yang menunjukkan
islam memelihara kehormatan manusia, seperti memuliakan tamu, mengharamkan ghibah (gosip), melarang saling
memata-matai, dan memerintahkan menolong orang yang dizhalimi.
- Pemeliharaan atas jiwa manusia
Dalam islam, kematian seseorang tanpa alasan yang benar sama saja seperti
kematian seluruh umat manusia. Oleh karena itu, islam telah menetapkan qishas bagi seseorang yang membunuh
tanpa alasan yang benar. Bertolak belakang dengan pemikiran kebanyakan orang,
justru tujuan qishas adalah jaminan
kehidupan bagi umat manusia.
- Pemeliharaan atas harta
Islam menghormati kepemilikan atas harta. Oleh karena itu, ada beberapa
peraturan islam akan harta. Misalnya, islam melarang pengelolaan harta oleh
orang idiot. Tujuannya agar tidak membelanjakan harta secara berlebih-lebihan.
- Pemeliharaan atas agama
Islam tidak pernah memaksa seseorang masuk ke dalam agama islam. Allah SWT
telah berfirman pada surat Al-Baqarah ayat 256 yang berbunyi :
Iw on#tø.Î) Îû ÈûïÏe$!$#
ÇËÎÏÈ
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)
Meskipun demikian, seorang muslim yang keluar dari islam atau murtad akan
dikenai hukuman mati dengan syarat orang tersebut mengumumkan kemurtadannya.
Sebelum menghukum, pemerintah islam juga perlu mengajaknya berdiskusi dan
memintanya bertaubat pada jangka waktu tertentu.
- Pemeliharaan atas keamanan
Keamanan adalah salah satu kebutuhan bagi manusia. Tidak ada yang dapat
hidup normal pada suasana yang penuh dengan ancaman terhadap harta dan
nyawanya. Oleh karena itu, islam menetapkan aturan yang akan menghentikan siapa
saja yang mengganggu keamanan masyarakat. Islam telah menetapkan sanksi bagi
para pelaku, yang bertujuan untuk mencegah atas perbuatannya tersebut.
Misalnya, dengan mengasingkan, memotong kaki, dan tangannya secara bersilangan
atau dengan hukuman mati.
B. Pengertian dan
Karakteristik Hukum Islam
Pengertian hukum islam hingga saat ini masih rancu dengan pengertian
syariah, untuk itu dalam pengertian hukum islam disini di maksudkan didalamnya
dimaksudkan pengertian syariat. Dalam kaitan ini di jumpai pendapat yang
mengatakan bahwa hukum islam atau fiqih adalah sekelompok dengan
syari’at-syari’at yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia yang di ambil
dari nash Al-qur’an alsunnah. Bila ada nash dari Al-qur’an atau Al-sunnah yang
berhubungan dengan amal perbuatan tersebut, atau yang diambil dari sumber
sumber lain. Bila tidak ada nash dari Al-qur’an atau alsunnah di bentuklah
suatu ilmu yang disebut dengan ilmu fiqih. Dengan demikian yang di sebut ilmu fiqih ialah sekelompok hukum tentang
amal perbuatan manusia yang diambil dari dalil yang terperinci.
Yang dimaksud dengan amal perbuatan orang mukallaf yang berhubungan dengan
ibadat ibadat muamalat, kepidanaan dan sebagainya, bukan yang berhubungan
dengan aqidah ( kepercayaan ). Sebab yang terakhir ini termasuk dalam
pembahasan ilmu kalam. Adapun yang dimaksud dengan dalil-dalil yang terperinci
ialah satuan satuan dalil yang masing-masing menunjuk kepada suatu hukum
tertentu.
Berdasarkan batasan tersebut diatas sebenarnya dapat di bedakan antara
syari’ah dan hukum islam atau fiqih perbedaan tersebut terlihat pada dasar atau
dalil yang digunakanya, jika syari’at di dasarkan kepada nash Al-qur’an atau
alsunnah secara langsung tanpa memelurkan penalaran penalaran atau istihad
dengan tetap berpegang pada semangat yang terdapat dalam syari’at. Dengan
demikian, jika syari’at bersifat permanen, kekal dengan abadi fiqih dan hukum
islam bersifat temporer dan dapat berubah. Namun, dalam prakteknya antara
syari’at dan fiqih sulit di bedakan ketika kita mengkaji suatu masalah misalnya
kita pergunakan nash Al-qur’an dan Al-sunnah tersebut tetap memerlukan pilihan
yang menggunakan akal. Dalam kaitan ini tidak mengherankan jika Ahmad Zaki
Yunani ada dua., Pertama, bahwa syari’at islam itu luwes, dapat
berkembang untuk menanggulangi semua persoalan yang berkembang dan berubah
terus dia sama sekali berbeda dengan apa yang telah di gambarkan baik oleh
musuh-mush islam, maupun sementara penganutnya yang menyeleweng yakni bahwa
syari’at islam suatu system agama yang sudah sangat mantap ajarannya. Kedua
dalam pusaka perbandingan hukum islam terdapat dasar-dasar yang mantap untuk
pemecahan-pemecahan yang dapat dilaksanakan secara tepat dan cermat bagi
persoalan-persoalan yang paling pelik di masa kini, yang tidak dapat dipecahkan
oleh system Barat maupun oleh system prinsip Timur meskipun sekedar menaklukkan
saja.
Sejalan dengan uraian tersebut, Zaki Yamani membagi syari’at islam dalam
dua pengertian. Pertama, pengertian dalam bidang yang luas dan
kedua pengertian dalam bidang yang sempit. Pengertian syari’at islam dalam
bidang yang luas meliputi semua hukum yang telah di susun dengan teratur oleh
para ahli fiqih dalam pendapat-pendapat fiqihnya mengenai persoalan di masa
mereka, atau yang mereka perkirakan akan terjadi kemudian. Dengan mengambil
dalil-dalil yang langsung dari Al-qur’an dan Al-hadist atau sumber pengambilan
hukum seperti ijma’, qiyas, istihsan, dan juga istihsab[1].
Syari’at dalam pengertian yang luas ini memberikan peluang untuk berbeda
pendapat untuk mengikutinya atau tidak mengikutinya. Adapun dalam pengertian
dalam yang sempit, syari’at islam itu terbatas pada hukum-hukum yang beradil
pasti dan tegas yang tertera dalam Al-quran, hadist yang shahih, atau yang ditetapkan
dengan ijma’. Dalam pengertian yang sempit ini, syari’at dengan dalil-dalilnya
yang tegas dan pasti mewajibkan setiap muslim untuk mengikutinya dan
menjadikannya sebagai sumber untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
Perbedaa antara pengertian yang luas dan sempit tentang syari’at tadi maka
terasa pentingnya dalam Negara-negara yang menlaksanakan syari’at islam
seutuhnya seperti Saudi Arabia yang akan membuktikan secara mudah dan jelas
perlu tidaknya pelaksanaan semua hukum syari’at islam dalam pengertian yang
luas itu.
Kini syari’at islam sudah cukup tua, yaitu dari sejak kelahiran agama islam
itu sendiri pada 15 abad yang lalu sampai sekarang. Sejauh manakah syari’at
islam itu tetap actual dan mampu merespon perkembangan zaman, telah dijawab
lewat berbagai penelitian yang dilakukan oleh para ahli, contoh-contohnya dapat
dilihat dalam uraian di bawah ini.
Dan dapun pembentukan dan perkembangan aliran fiqih secara lebih rinci
telah dijelaskan dalam buku yang berjudul Sejah dan Perkembangan Hukum Islam,
karena itu bagian ini akan diisi dengan ringkasan dari buku tersebut. Dengan
demikian, kita telah mengenal sejumah aliran hukum islam, yaitu Madrasah
Madinah, Madrasah Kufah, Aliran Hanafi, Aliran Maliki, Aliran Al-Syafi’i dan
lain sebagainya karena banyak aliran yang muncul kemudian menghilang karena
tidak ada yang mengembangkannya.
Aliran hukum islam yang terkenal dan masih ada pengikutnya hingga sekarang
hanya beberapa aliran, diantaranya Hanafiyah, Malikiyah dan lain sebagainya.
Akan tetapi, yang sering dilupakan dalam sejarah hukum islam adalah bahwa
buku-buku aliran Sunni, sehingga para penulis sejarah hukum islam cenderung
mengabaikan pendapat khawaris dan syi’ah dalam bidang hukum islam.[2]
B. Model-model
Penelitian Hukum Islam
1. Model Harun
Nasution
Sesbagai guru besar dalam bidang Teologi dan Filsafat Islam penelitiannya
dalam bidang hukun? Islam ini ia tuangkan secara ringkat dalam bukunya Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid II. Melalui
penelitiannya secara ringkas terhadap berbagai hukum Islam dengan menggunakan
pendekatan sejarah, Harun Nasution telah berhasil mendeskripsikan struktur ukum
Islam secara komprehensif, yaitu mulai dari kajian terhadap ayat-ayat hukum
yang ada dalam Al-qur’an, latar belakang sejarah pertumbuhan dan perkembangan
hukum Islam dari sejak zaman Nabi sampai dengan sekarang, lengkap dengan
beberapa mazhab yang ada, dan sumber hukum yang digunakannya serta latar
belakang timbulnya perbedaan pendapat.
Dengan membaca hasil penelitiannya itu pembaca akan memperoleh informasi
tentang jumlah ayat Al-qur’an yang berkaitan dengan hukum, yang jumlahnya 368
ayat, dan 228 ayat atau 3 1/5 persen merupakan ayat yang mengungkap soal
kehidupan kemasyarakatan umat yakni ayat yang berkaitan dengan hidup
kekeluargaan, perkawinan, perceraian, hak waris dan sebagainya ayat-ayat
mengenai perdagangan, perekonomian, jual beli, sewa-menyewa, pinjam meminjam,
gadai, perseroan, kontrak, dan sebagainya ayat-ayat tentang kriminal, mengenai
hubungan Islam dan bukan Islam, soal pengadilan, hubungan kaya dan miskin serta
mengenai soal kenegaraan.[3]
Harun Nasution melaporkan bahwa di periode Nabi segala persoalan
dikembalikan kepada nabi untuk menyelesaikannya, Nabilah yang menjadi
satu-satunya sumber hukum. Secara langsung pembuat hukum adalah Nabi, tetapi
secara tidak langsung Tuhanlah pembuat hukum, karena hukum yang dikeluarkan
Nabi bersumber pada wahyu, dari Tuhan. Nabi sebenarnya bertugas menyampaikan
dan melaksanakan hukum yang telah diwahyukan kepadanya.
Dalam pendapat hukumnya Abu Hanifah dipengaruhi oleh perkembangan yang ada
di Kufah yang letakmya jauh dari Madinah sebagai pusat kegiatan dakwah
Rasulullah dan tempat tumbulnya Al-Sunnah. keadaan demikian Abu Hanifah banyak
mempergunakan rasio sumber hukum Islam yang dia gunakan adalah Alquran,
Al-Sunnah, Al-ra’yu, qiyas, istihsan dan syariat sebelum Islam yang masih
sejalan dengan Al-qur’an dan Al-Sunnah. Mazhab ini sekarang banyak dianut di
Turki, Suria. Afghanistan, Turkistan, dan India dan yang memakainva secara
resmi adala Suria, Lebanon dan Mesir.
Sementara itu Imam Malik yang tinggal di Madinah sebagai pusat dakwah
Rasulullah dan tempat beredarnya Hadist, serta masyarakatnya tidak semaju
dibandingkan dengan masyarakat Kufah yang dihadapi Imam Malik nampak tidak
sulit mendapatkan Hadist guna memecahkan berbagai masalah Untuk ini ia
menggunakan sumber hukum berupa Alquran dan Sunnah.
Selanjutnya Imam Syaf’i yang pernah berguru pada Abu Hanifah dan pada Imam
Malik serta pernah tinggal di berbagai kota seperti Kufah, Mesir, Madinah, dan
Makkah tentu menghadapi permasalahan yang berlainan lagi, dalam kaitan
pemecahan masalah.
Selanjutnya Ahmad Ibn Hambal yang lahir di Baghdad pada tahun 780 M. Dalam
pemikiran hukumn Ahmad bin Hambal memakai lima sumber yaitu Alquran, sunnah,
pendapat sahabat yang diketahui tidak mendapat tantangan dari sahabat lain,
pendapat seorang atau beberapa sahabat, dengan syarat sesuai dengan Al-qur’an
serta sunnah, hadis mursal, dan qiyas dalam keadaan terpaksa.
Jika berbagai sumber hukum Islam dari lima mazhab tersebut disatukan antara
satu dan lainnya, maka sumber hukum Islam itu meliputi Alquran, hi-Hadis,
pendapat para sahabat, qiyas, istihsan, maslahat al-ummah, dan sariat sebelum
Islam.
Dari uraian tersebut terlihat bahwa model penelitian hukum Islam yang
digunakan Harun Nasution adalah penelitian eksploratif, deskriptif dengan
menggunakan pendekatan kesejarahan. Interpretasi yang dilakukan atas data-data
histotis tersebut selalu dikaitkan dengan konteks sejarahnya.
2. Model Moel J. Coulson
Hasil penelitian itu dituangkan dalam tiga bagian. Bagian pertama menjelaskan
tentang terbentukya hukum syariat, dan, yang di dalamnya dibahas tentang
legalisasi Alqur’an, praktek hukum di abad pertama Islam, sebagai mazhab
petama, lmam Al-Syaf’i, Bapak Yurisprudensi. Bagian kedua, berbicara
tentang pemikiran dan praktek hukum Islam di abad pertengahan. Di dalamnya
dibahas tentang, teori hukum klasik, antara kesatuan dan keragaman, darn aliran
dalam sistem hukum, pemerintahan Islam dan hukum syari’at, masyarakat dan hukum
syariat. Bagian ketiga, berbicara tentang hukum Islam dimasa modern yang
di dalamnya dibahas tentang penyerapan hukum Eropa, hukum syariat kontemporer,
taklid dan pembaharuan hukum serta neo ijtihad.
Pada bagian pendahuluan ia menyatakan bahwa problema yang mendasar saat
ini ialah adanya pertentangan antara ketentuan-ketentuan hukum tradisional yang
dinyatakan secara kaku di satu pihak, dan tuntutan-tuntutan masyatakat modern
di lain pihak. Apabila perjalanan hukum diarahkan agar bisa membentuk sebagai
penjabaran perintah Tuhan, agar tetap hukum Islam, tak bisa dibenarkan suatu
reformasi yang dimaksudkan guna memenuhi kebutuhan masyarakat. Sebaliknya,
reformasi harus mencari dasar hukum dalam prinsip-prinsip Islam sebagai
penopang. Artinya, harus ada legitimasi (pengesahan) baik secara implisit
maupun secara eksplisit dari kemauan Tuhan. Akan tetapi, selama teori tentang
sistem hukum Islam klasik masih mendominasi dunia pemikiran dukungan seperti
itu sukar diperoleh.
Menurut Coulson ada dua alasan prinsipil di balik keberagaman atau
perbedaan: ini. Pertama, adalah lazim bahwa masing-masing qadi
cenderung menetapkan aturan setempat yang tentu berbeda-beda antara satu daerah
dengan yang lainnya. Misalnya Madinah masih teguh pada konsep hukum kesukuan
Arab, maka yang berlaku disini adalah bahwa perkawinan merupakan hak
prerowgatif anggota keluarga laki-laki. Disini norma kesukuan sangat asing,
namun meski menduduki posisi yang lebih rendah, kaum wanita dalam hal-hal
tertentu mempunyai kuasa atas dirinya sendiri.
Alasan kedua, wewenang hakim untuk memutus perkara sesuai dengan
pendapatnya sendiri (ra’y) untuk maksud apapun, tidak dibatasi. Demikian pula
pemerintah pusat tidak punya pengaruh yang berguna. Di samping itu, tidak
dikenal- hierarki dalam peradilan tidak ada peradilan tertinggi yang
mencontohkan cara penyelesaian kasus hukum-hukum Al-qur’an sendiri tidak
ditemukan unsur penyatu yang kuat.
Selanjutnya ketika berbicara teori hukum klasik ia mengatakan bahwa
yurisprudensi hukum umat Islam di awal abad kesepuluh seara formal menyakinkan
bahwa saat itu kekuatan kreatifnya menjadi habis dengan adanya satu doktrin
yang dikenal dengan tertutupnya pintu ijtihad. Hak ijiihad digantikan dengan
kewajiban ta’lid (meniru). Dan setiap ulama pun lantas menjadi muqollid
(peniru atau pengekor) yang harus menerima dan mengikuti ajaran para pendahulu
mereka. Sementara penulis modern menyatakan bahwa doktrin ini timbul dari
keadaan khusus pada penyerangan Mongol di abad ketiga belas, yaitu ketika
warisan berharga berupa syari’ah dibalseni dan dikuburkan dalam rangka melindunginya
dari gerombalan Jengis khan yang bengis. Tetapi, sebenarnya secara historis
gejala ini telah muncul tiga abad sebelumnya. Dan boleh jadi hal ini disebabkan
oleh sebab-sebab internal, bukan tekanan dari luar. Penghargaan berlebihan
terhadap para ulama pendahulu, terhadap pribadi mereka, melahirkan kepercayaan
bahma pekerjaan menafsirkan dan mengembangkan secara mendalam sudah selesai dan
ulama-ulama (dulu) yang kemarnpuannya tak tertandingi itu dan bahwa usaha
mereka sudah bernasil mengantarkan syari’ah pada bentuk final vang sempurna.
Sikap ini tentu saja secara erat merupakan akibat dari melebarnya wilayah ijma'
yang berakibat melemahkan.
Coulson melaporkan tentang adanya penyerapan hukum Eropa oleh hukum Islam.
Menurut hasil penelitiannya, semenjak akhir abad kesembilan belas, syriah yang
murni di Timur Tengah dalam bentuk tradisionalnya hanya terbatas pada bidang
hukum keluarga, yang selanjutnya memasukkan hukum waris, sistem waqf dan
dalam banyak kasus hukum hibah hanya Jazirah Arab yang pada umumnya masih kebal
dari pengaruh hukum Eropa. Di sini, Saudi Arabia, Yaman, dan Hadramaut serta
beberapa kerajaan di Teluk Persia, hingga hari ini hukum Islam tradisional,
masih tetap fundamental dan dengan beberapa modifikasi kecil-kecilan masih
tetap mengatur setiap aspek dari hubungan hukum.
Berdasar pada hasil penelitian tersebut, tampak bahwa dengan menggunakan
pendekatan historis, Coulson lebih berhasil menggambarkan perjalanan hukum
islam dari sejak berdirinya hingga sekarang secara utuh. melalui penelitiannya
itu, Coulson telah berhasil menempathan hukum Islam sebagal perangkat dari
perilaku teratur dan merupakan suatu lembaga. Di dalam prosesnya, hukum sebagai
lembaga sosial memenuhi kebutuhan pokok manusia akan kedamaian dalam
masyarakat. Warga masyarakat tak akan mungkin hidup teratur tanpa hukum oleh
karena norma-norma lainnya akan mungkin memenuhi kebutuhan nanusia ketenteraman
secara tuntas. Dalam hukum Islam sebagaimana diketahui misalnya memperhatikan
sekali masalah keluarga, karena dari keluarga-keluarga yang baik, makmur, dan
bahagia akan tersusun masyarakat yang baik, makmur, dan bahagia. Oleh karerla
itu, keteguhan ikatan kekeluargaan perlu dipelihara, dan di sinilah terletak
salah satu sebabnya ayat-ayat ahkam mementingkan soal hidup kekeluargaan.
Dengan melihat fungsi hukum demikian, pengamatan terhadap perubahan sosial
harus dijadikan pertimbangan penting dalam rangka reformulasi hukum Islam.
3. Model Mohammad Atho Mudzhar
Hasil penelitian yang dituangkan dalam pendapat pertama mengemukakan
tentang latar belakang dan karakteristik Islam di Indonesia serta pengaruhnya
terhadap corak hukum Islam. Karakteristik tersebut dilihat dalam empat aspek,
yaitu latar belakang kultur, doktrin teologi, struktur sosial, dan ideologi
politik. Selanjutnya pada bagian ini juga dikemukakan tentang kondisi hukum
Islam di Indonesia serta berbagai lembga yang memegang kekuasaan hukum tersebut
mulai dari periode penjajahan sampai dengan periode Indonesia merdeka. Berbagai
muatan pemikiran yang dikemukakan pada bagian pendahuluan ini digunakan sebagai
alat untuk menganalisa herbagai produk yang dikeluarkan Majelis Ulama. Dengan
demikian penelitian ini ingin melihat seberapa jauh latar belakang budaya,
doktrin teologi, struktur sosial, dan ideologi politik yng dianut masyarakat
dan pemerintah Indonnesia Majelis Ulama Indonesia.
Pada ketiga, penelitian tersebut isi produk fatwa yang dikeluarkan Majelis
Ulama Indonesia serta metode yang digunakan fatwa-fatwa tersebut antara lain
meliputi bidang ibadah ritual, masalah keluarga, dan perkawinan, kebudayaan,
makanan, perayaan hari-hari besar agama nasrani, masalah kedokteran, keluarga
bencana dan lain sebagainya.
Sedangkan dalam bagian ke empat kesimpulan yang dihasilkan adalah bahwa
Majelis Ulama Indonesia dalam kenyataannya tidak selalu konsisten mengikuti
pola metodologi dalam penetapan fatwa sebagaimana dijumpai dalam ilmu fiqih.
Fatwa-fatwa tersebut terkadang langsung merujuk pada Al-qur’an sebelum merujuk
kepada Al-hadist.
Dengan
memperhatikan uraian tersebut, terlihat bahwa bidang penelitian hukum islam
yang dilakukan Atho Mudzhar termasuk penelitian uji teori atau uji asumsi
(hipotesis) yang dibangun dari berbagai teori yang terdapat dalam ilmu
sosiologi hukum. Peneliti dengan sangat jelas menggunakan asumsi yang ingin
dibuktikan dalam penelitiannva itu. Dengan menggunakan penelitian ini tergolong
penelitian kepustakaan. Sedangkan kerangka analisis yang digunakannya adalah
sosiologi hukum
Hasil penelitian tersebut terasa mengejutkan sebahagian Ulama fiqih
tradisional. Hal ini dinilai akan menghilangkan unsur kesakralan atau kekudusan
hukum Islam. Para ulama tradisional khawatir penelitian tersebut akan
menempatkan hukum Islam sebagai hukum sekuler yang dapat di ubah seenaknya.
Kesan demikian tidak mengherankan karena secara faktual hukun Islam atau fiqih
yang selama ini dipelajari unlit Islam mulai dari tingkat dasar sampai dengan
Perguruan Tinggi bersifat ahistoris, atau kehilagan konteks kesejarahannya.
Para ulama yang mempelajari Fiqih pada umumnya tidak mengetahui berbagai faktor
sosiokultural, politik, serta lainnya yang ikut serta mempengaruhi terbentuknya
hukum tersebut. Akibat dari keadaan demikian mereka tidak mengetahui persis
konteks.
Namun demikian, kita pun tidak sepenuhnya menerima pendapat yang mengatakan
bahwa seluruh produk hukum islam harus disesuaikan dengan tuntutan zaman yang
berkaitan dengan masalah ibadah ritual misalnya jelas tidak dipengaruhi oleh
perubahan zaman serta ketentuan lainnya tentang ibadah jelas tidak mempengaruhi
oleh perubahan seseorang memahami makna ibadah dalam kehiduoan oleh latar
belakang penelitian lingkungan dan lain sebagainya.
Kesimpulan
Tujuan hukum islam (maqashid syar’iah) maksudnya adalah
nilai-nilai yang terkandung dalam aturan islam. Beberapa tujuan
hokum Islam yaitu:
- Pemeliharaan atas keturunan.
- Pemeliharaan atas akal
- Pemeliharaan atas kemuliaan atau kehormatan
- Pemeliharaan atas jiwa manusia
- Pemeliharaan atas harta
- Pemeliharaan atas agama
- Pemeliharaan atas keamanan
Ada pendapat yang mengatakan bahwa pengertian hukum islam atau fiqih adalah sekelompok dengan syari’at-syari’at yang
berkaitan dengan amal perbuatan manusia yang di ambil dari nash Al-qur’an
alsunnah. Bila ada nash dari Al-qur’an atau Al-sunnah yang berhubungan dengan
amal perbuatan tersebut, atau yang diambil dari sumber sumber lain. Bila tidak
ada nash dari Al-qur’an atau alsunnah di bentuklah suatu ilmu yang disebut
dengan ilmu fiqiti. Dengan demikian yang di sebut ilmu fiqih ialah sekelompok
hukum tentang amal perbuatan manusia yang diambil dari dalil yang terperinci.
Yang dimaksud dengan amal perbuatan orang mukallaf yang berhubungan dengan
ibadat ibadat muamalat, kepidanaan dan sebagainya, bukan yang berhubungan
dengan aqidah ( kepercayaan ). Sebab yang terakhir ini termasuk dalam
pembahasan ilmu kalam.
Berdasarkan
batasan tersebut diatas sebenarnya dapat di bedakan antara syari’ah dan hukum
islam atau fiqih perbedaan tersebut terlihat pada dasar atau dalil yang
digunakanya, jika syari’at di dasarkan kepada nash Al-qur’an atau alsunnah
secara langsung tanpa memelurkan penalaran penalaran atau istihad dengan tetap
berpegang pada semangat yang terdapat dalam syari’at. Namun, dalam prakteknya
antara syari’at dan fiqih sulit di bedakan ketika kita mengkaji suatu masalah
misalnya kita pergunakan nash Al-qur’an dan Al-sunnah tersebut tetap memerlukan
pilihan yang menggunakan akal.
Dalam sebuah penelitiannya Harun
Nasution melaporkan bahwa di periode Nabi
segala persoalan dikembalikan kepada nabi untuk menyelesaikannya, Nabilah yang
menjadi satu-satunya sumber hukum. Secara langsung pembuat hukum adalah Nabi,
tetapi secara tidak langsung Tuhanlah pembuat hukum, karena hukum yang
dikeluarkan Nabi bersumber pada wahyu, dari Tuhan. Nabi sebenarnya bertugas
menyampaikan dan melaksanakan hukum yang telah diwahyukan kepadanya.
Hasil penelitian J. Coulson dituangkan dalam tiga bagian. Bagian pertama menjelaskan tentang
terbentukya hukum syariat, dan, yang di dalamnya dibahas tentang legalisasi
Alqur’an, praktek hukum di abad pertama Islam, sebagai mazhab petama, lmam
Al-Syaf’i, Bapak Yurisprudensi. Bagian kedua, berbicara tentang
pemikiran dan praktek hukum Islam di abad pertengahan. Bagian ketiga,
berbicara tentang hukum Islam dimasa modern yang di dalamnya dibahas tentang
penyerapan hukum Eropa, hukum syariat kontemporer, taklid dan pembaharuan hukum
serta neo ijtihad.
Menurut Atho Mudzhar dalam Hasil penelitian ia tuangkan dalam
pendapat pertama mengemukakan tentang latar belakang dan karakteristik Islam di
Indonesia serta pengaruhnya terhadap corak hukum Islam. Karakteristik tersebut
dilihat dalam empat aspek, yaitu latar belakang kultur, doktrin teologi, struktur
sosial, dan ideologi politik.
DAFTAR PUSTAKA
Azizy,A.Qordory.2003 Melawan
Globalisasi: Reinterpretasi Ajaran Islam. Jogjakarta : Pelajar.
Al Maliki,Abdurrahman.
Politik Ekonomi Islam.Bangil Al Izzah