Saturday, September 29, 2012

Tujuan Karakteristik Hukum Ushul Fiqih




A. Tujuan hukum islam
Tujuan hukum islam (maqashid syar’iah) maksudnya adalah nilai-nilai yang terkandung dalam aturan islam. Tujuan akhir dari hukum islam pada dasarnya adalah kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. Berikut ini merupakan beberapa tujuan hukum islam, yaitu :
  1. Pemeliharaan atas keturunan.
Hukum islam telah menetapkan aturan-aturan beserta hukum yang bertujuan mencegah terjadinya kerusakan atas nasab dan keturunan manusia. Contohnya islam melarang zina dan menghukum pelakunya. Dalam firman Allah SWT pada surat Al-Isra ayat 32 yang berbunyi :
wur (q/tø)s? #oTÌh9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. Zpt±Ås»sù uä!$yur WxÎ6y ÇÌËÈ
Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.
  1. Pemeliharaan atas akal
Islam menetapkan aturan yang melarang umatnya untuk mengkonsumsi segala sesuatu yang dapat merusak akal. Dan islam mengharamkan minuman yang memabukkan dan merusak ingatan, seperti alkohol, ganja, dan narkoba. Dan di sisi lain, Islam mewajibkan umatnya agar menuntut ilmu dan berpikir untuk mengembangkan kemampuan akal. Allah SWT memuji orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan. Dalam firman Allah SWT pada surat Az-Zumar ayat 9 yang berbunyi :
 ö@è% ö@yd ÈqtGó¡o tûïÏ%©!$# tbqçHs>ôètƒ tûïÏ%©!$#ur Ÿw tbqßJn=ôètƒ 3 $yJ¯RÎ) ㍩.xtGtƒ (#qä9'ré& É=»t7ø9F{$# ÇÒÈ
Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.
  1. Pemeliharaan atas kemuliaan atau kehormatan
Islam melindungi umatnya dari penghinaan atau pencemaran nama baik. Oleh karena itu, bagi siapa saja yang menuduh seseorang berzina tanpa bukti, hukumannya akan berbalik kepada penuduhnya. Banyak aturan lain yang menunjukkan islam memelihara kehormatan manusia, seperti memuliakan tamu, mengharamkan ghibah (gosip), melarang saling memata-matai, dan memerintahkan menolong orang yang dizhalimi.

  1. Pemeliharaan atas jiwa manusia
Dalam islam, kematian seseorang tanpa alasan yang benar sama saja seperti kematian seluruh umat manusia. Oleh karena itu, islam telah menetapkan qishas bagi seseorang yang membunuh tanpa alasan yang benar. Bertolak belakang dengan pemikiran kebanyakan orang, justru tujuan qishas adalah jaminan kehidupan bagi umat manusia.

  1. Pemeliharaan atas harta
Islam menghormati kepemilikan atas harta. Oleh karena itu, ada beberapa peraturan islam akan harta. Misalnya, islam melarang pengelolaan harta oleh orang idiot. Tujuannya agar tidak membelanjakan harta secara berlebih-lebihan.
  1. Pemeliharaan atas agama
Islam tidak pernah memaksa seseorang masuk ke dalam agama islam. Allah SWT telah berfirman pada surat Al-Baqarah ayat 256 yang berbunyi :
Iw on#tø.Î) Îû ÈûïÏe$!$#  ÇËÎÏÈ
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)
Meskipun demikian, seorang muslim yang keluar dari islam atau murtad akan dikenai hukuman mati dengan syarat orang tersebut mengumumkan kemurtadannya. Sebelum menghukum, pemerintah islam juga perlu mengajaknya berdiskusi dan memintanya bertaubat pada jangka waktu tertentu.
  1. Pemeliharaan atas keamanan
Keamanan adalah salah satu kebutuhan bagi manusia. Tidak ada yang dapat hidup normal pada suasana yang penuh dengan ancaman terhadap harta dan nyawanya. Oleh karena itu, islam menetapkan aturan yang akan menghentikan siapa saja yang mengganggu keamanan masyarakat. Islam telah menetapkan sanksi bagi para pelaku, yang bertujuan untuk mencegah atas perbuatannya tersebut. Misalnya, dengan mengasingkan, memotong kaki, dan tangannya secara bersilangan atau dengan hukuman mati.

B.  Pengertian dan Karakteristik Hukum Islam
Pengertian hukum islam hingga saat ini masih rancu dengan pengertian syariah, untuk itu dalam pengertian hukum islam disini di maksudkan didalamnya dimaksudkan pengertian syariat. Dalam kaitan ini di jumpai pendapat yang mengatakan bahwa hukum islam atau fiqih adalah sekelompok dengan syari’at-syari’at yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia yang di ambil dari nash Al-qur’an alsunnah. Bila ada nash dari Al-qur’an atau Al-sunnah yang berhubungan dengan amal perbuatan tersebut, atau yang diambil dari sumber sumber lain. Bila tidak ada nash dari Al-qur’an atau alsunnah di bentuklah suatu ilmu yang disebut dengan ilmu fiqih. Dengan demikian yang di sebut ilmu fiqih ialah sekelompok hukum tentang amal perbuatan manusia yang diambil dari dalil yang terperinci.
Yang dimaksud dengan amal perbuatan orang mukallaf yang berhubungan dengan ibadat ibadat muamalat, kepidanaan dan sebagainya, bukan yang berhubungan dengan aqidah ( kepercayaan ). Sebab yang terakhir ini termasuk dalam pembahasan ilmu kalam. Adapun yang dimaksud dengan dalil-dalil yang terperinci ialah satuan satuan dalil yang masing-masing menunjuk kepada suatu hukum tertentu.
Berdasarkan batasan tersebut diatas sebenarnya dapat di bedakan antara syari’ah dan hukum islam atau fiqih perbedaan tersebut terlihat pada dasar atau dalil yang digunakanya, jika syari’at di dasarkan kepada nash Al-qur’an atau alsunnah secara langsung tanpa memelurkan penalaran penalaran atau istihad dengan tetap berpegang pada semangat yang terdapat dalam syari’at. Dengan demikian, jika syari’at bersifat permanen, kekal dengan abadi fiqih dan hukum islam bersifat temporer dan dapat berubah. Namun, dalam prakteknya antara syari’at dan fiqih sulit di bedakan ketika kita mengkaji suatu masalah misalnya kita pergunakan nash Al-qur’an dan Al-sunnah tersebut tetap memerlukan pilihan yang menggunakan akal. Dalam kaitan ini tidak mengherankan jika Ahmad Zaki Yunani ada dua., Pertama, bahwa syari’at islam itu luwes, dapat berkembang untuk menanggulangi semua persoalan yang berkembang dan berubah terus dia sama sekali berbeda dengan apa yang telah di gambarkan baik oleh musuh-mush islam, maupun sementara penganutnya yang menyeleweng yakni bahwa syari’at islam suatu system agama yang sudah sangat mantap ajarannya. Kedua dalam pusaka perbandingan hukum islam terdapat dasar-dasar yang mantap untuk pemecahan-pemecahan yang dapat dilaksanakan secara tepat dan cermat bagi persoalan-persoalan yang paling pelik di masa kini, yang tidak dapat dipecahkan oleh system Barat maupun oleh system prinsip Timur meskipun sekedar menaklukkan saja.
Sejalan dengan uraian tersebut, Zaki Yamani membagi syari’at islam dalam dua pengertian. Pertama, pengertian dalam bidang yang luas dan kedua pengertian dalam bidang yang sempit. Pengertian syari’at islam dalam bidang yang luas meliputi semua hukum yang telah di susun dengan teratur oleh para ahli fiqih dalam pendapat-pendapat fiqihnya mengenai persoalan di masa mereka, atau yang mereka perkirakan akan terjadi kemudian. Dengan mengambil dalil-dalil yang langsung dari Al-qur’an dan Al-hadist atau sumber pengambilan hukum seperti ijma’, qiyas, istihsan, dan juga istihsab[1].
Syari’at dalam pengertian yang luas ini memberikan peluang untuk berbeda pendapat untuk mengikutinya atau tidak mengikutinya. Adapun dalam pengertian dalam yang sempit, syari’at islam itu terbatas pada hukum-hukum yang beradil pasti dan tegas yang tertera dalam Al-quran, hadist yang shahih, atau yang ditetapkan dengan ijma’. Dalam pengertian yang sempit ini, syari’at dengan dalil-dalilnya yang tegas dan pasti mewajibkan setiap muslim untuk mengikutinya dan menjadikannya sebagai sumber untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
Perbedaa antara pengertian yang luas dan sempit tentang syari’at tadi maka terasa pentingnya dalam Negara-negara yang menlaksanakan syari’at islam seutuhnya seperti Saudi Arabia yang akan membuktikan secara mudah dan jelas perlu tidaknya pelaksanaan semua hukum syari’at islam dalam pengertian yang luas itu.
Kini syari’at islam sudah cukup tua, yaitu dari sejak kelahiran agama islam itu sendiri pada 15 abad yang lalu sampai sekarang. Sejauh manakah syari’at islam itu tetap actual dan mampu merespon perkembangan zaman, telah dijawab lewat berbagai penelitian yang dilakukan oleh para ahli, contoh-contohnya dapat dilihat dalam uraian di bawah ini.
Dan dapun pembentukan dan perkembangan aliran fiqih secara lebih rinci telah dijelaskan dalam buku yang berjudul Sejah dan Perkembangan Hukum Islam, karena itu bagian ini akan diisi dengan ringkasan dari buku tersebut. Dengan demikian, kita telah mengenal sejumah aliran hukum islam, yaitu Madrasah Madinah, Madrasah Kufah, Aliran Hanafi, Aliran Maliki, Aliran Al-Syafi’i dan lain sebagainya karena banyak aliran yang muncul kemudian menghilang karena tidak ada yang mengembangkannya.
Aliran hukum islam yang terkenal dan masih ada pengikutnya hingga sekarang hanya beberapa aliran, diantaranya Hanafiyah, Malikiyah dan lain sebagainya. Akan tetapi, yang sering dilupakan dalam sejarah hukum islam adalah bahwa buku-buku aliran Sunni, sehingga para penulis sejarah hukum islam cenderung mengabaikan pendapat khawaris dan syi’ah dalam bidang hukum islam.[2]
B. Model-model Penelitian Hukum Islam
1. Model Harun Nasution
Sesbagai guru besar dalam bidang Teologi dan Filsafat Islam penelitiannya dalam bidang hukun? Islam ini ia tuangkan secara ringkat dalam bukunya Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid II. Melalui penelitiannya secara ringkas terhadap berbagai hukum Islam dengan menggunakan pendekatan sejarah, Harun Nasution telah berhasil mendeskripsikan struktur ukum Islam secara komprehensif, yaitu mulai dari kajian terhadap ayat-ayat hukum yang ada dalam Al-qur’an, latar belakang sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam dari sejak zaman Nabi sampai dengan sekarang, lengkap dengan beberapa mazhab yang ada, dan sumber hukum yang digunakannya serta latar belakang timbulnya perbedaan pendapat.
Dengan membaca hasil penelitiannya itu pembaca akan memperoleh informasi tentang jumlah ayat Al-qur’an yang berkaitan dengan hukum, yang jumlahnya 368 ayat, dan 228 ayat atau 3 1/5 persen merupakan ayat yang mengungkap soal kehidupan kemasyarakatan umat yakni ayat yang berkaitan dengan hidup kekeluargaan, perkawinan, perceraian, hak waris dan sebagainya ayat-ayat mengenai perdagangan, perekonomian, jual beli, sewa-menyewa, pinjam meminjam, gadai, perseroan, kontrak, dan sebagai­nya ayat-ayat tentang kriminal, mengenai hubungan Islam dan bukan Islam, soal pengadilan, hubungan kaya dan miskin serta mengenai soal kenegaraan.[3]
Harun Nasution melaporkan bahwa di periode Nabi segala persoalan dikembalikan kepada nabi untuk menyelesaikannya, Nabilah yang menjadi satu-satunya sumber hukum. Secara langsung pembuat hukum adalah Nabi, tetapi secara tidak langsung Tuhanlah pembuat hukum, karena hukum yang dikeluarkan Nabi bersumber pada wahyu, dari Tuhan. Nabi sebenarnya bertugas menyampaikan dan melaksanakan hukum yang telah diwahyukan kepadanya.
Dalam pendapat hukumnya Abu Hanifah dipengaruhi oleh perkembangan yang ada di Kufah yang letakmya jauh dari Madinah sebagai pusat kegiatan dakwah Rasulullah dan tempat tumbulnya Al-Sunnah. keadaan demikian Abu Hanifah banyak mempergunakan rasio sumber hukum Islam yang dia gunakan adalah Alquran, Al-Sunnah, Al-ra’yu, qiyas, istihsan dan syariat sebelum Islam yang masih sejalan dengan Al-qur’an dan Al-Sunnah. Mazhab ini sekarang banyak dianut di Turki, Suria. Afghanistan, Turkistan, dan India dan yang memakainva secara resmi adala Suria, Lebanon dan Mesir.
Sementara itu Imam Malik yang tinggal di Madinah sebagai pusat dakwah Rasulullah dan tempat beredarnya Hadist, serta masyarakatnya tidak semaju dibandingkan dengan masyarakat Kufah yang dihadapi Imam Malik nampak tidak sulit mendapatkan Hadist guna memecahkan berbagai masalah Untuk ini ia menggunakan sumber hukum berupa Alquran dan Sunnah.
Selanjutnya Imam Syaf’i yang pernah berguru pada Abu Hanifah dan pada Imam Malik serta pernah tinggal di berbagai kota seperti Kufah, Mesir, Madinah, dan Makkah tentu menghadapi permasalahan yang berlainan lagi, dalam kaitan pemecahan masalah.
Selanjutnya Ahmad Ibn Hambal yang lahir di Baghdad pada tahun 780 M. Dalam pemikiran hukumn Ahmad bin Hambal memakai lima sumber yaitu Alquran, sunnah, pendapat sahabat yang diketahui tidak mendapat tantangan dari sahabat lain, pendapat seorang atau beberapa sahabat, dengan syarat sesuai dengan Al-qur’an serta sunnah, hadis mursal, dan qiyas dalam keadaan terpaksa.
Jika berbagai sumber hukum Islam dari lima mazhab tersebut disatukan antara satu dan lainnya, maka sumber hukum Islam itu meliputi Alquran, hi-Hadis, pendapat para sahabat, qiyas, istihsan, maslahat al-ummah, dan sariat sebelum Islam.
Dari uraian tersebut terlihat bahwa model penelitian hukum Islam yang digunakan Harun Nasution adalah penelitian eksploratif, deskriptif dengan menggunakan pendekatan kesejarahan. Interpretasi yang dilakukan atas data-data histotis tersebut selalu dikaitkan dengan konteks sejarahnya.


2. Model Moel J. Coulson
Hasil penelitian itu dituangkan dalam tiga bagian. Bagian pertama menjelaskan tentang terbentukya hukum syariat, dan, yang di dalamnya dibahas tentang legalisasi Alqur’an, praktek hukum di abad pertama Islam, sebagai mazhab petama, lmam Al-Syaf’i, Bapak Yurisprudensi. Bagian kedua, berbicara tentang pemikiran dan praktek hukum Islam di abad pertengahan. Di dalamnya dibahas tentang, teori hukum klasik, antara kesatuan dan keragaman, darn aliran dalam sistem hukum, pemerintahan Islam dan hukum syari’at, masyarakat dan hukum syariat. Bagian ketiga, berbicara tentang hukum Islam dimasa modern yang di dalamnya dibahas tentang penyerapan hukum Eropa, hukum syariat kontemporer, taklid dan pembaharuan hukum serta neo ijtihad.
Pada bagian pendahuluan ia menyatakan bahwa problema yang men­dasar saat ini ialah adanya pertentangan antara ketentuan-ketentuan hukum tradisional yang dinyatakan secara kaku di satu pihak, dan tuntutan-tuntutan masyatakat modern di lain pihak. Apabila perjalanan hukum diarahkan agar bisa membentuk sebagai penjabaran perintah Tuhan, agar tetap hukum Islam, tak bisa dibenarkan suatu reformasi yang dimaksud­kan guna memenuhi kebutuhan masyarakat. Sebaliknya, reformasi harus mencari dasar hukum dalam prinsip-prinsip Islam sebagai penopang. Artinya, harus ada legitimasi (pengesahan) baik secara implisit maupun secara eksplisit dari kemauan Tuhan. Akan tetapi, selama teori tentang sistem hukum Islam klasik masih mendominasi dunia pemikiran dukungan seperti itu sukar diperoleh.
Menurut Coulson ada dua alasan prinsipil di balik keberagaman atau perbedaan: ini. Pertama, adalah lazim bahwa masing-masing qadi cenderung menetapkan aturan setempat yang tentu berbeda-beda antara satu daerah dengan yang lainnya. Misalnya Madinah masih teguh pada konsep hukum kesukuan Arab, maka yang berlaku disini adalah bahwa perkawinan merupakan hak prerowgatif anggota keluarga laki-laki. Disini norma kesukuan sangat asing, namun meski menduduki posisi yang lebih rendah, kaum wanita dalam hal-hal tertentu mempunyai kuasa atas dirinya sendiri.
Alasan kedua, wewenang hakim untuk memutus perkara sesuai dengan pendapatnya sendiri (ra’y) untuk maksud apapun, tidak dibatasi. Demikian pula pemerintah pusat tidak punya pengaruh yang berguna. Di samping itu, tidak dikenal- hierarki dalam peradilan ­tidak ada peradilan tertinggi yang mencontohkan cara penyelesaian kasus hukum-hukum Al-qur’an sendiri tidak ditemukan unsur penyatu yang kuat.
Selanjutnya ketika berbicara teori hukum klasik ia mengatakan bahwa yurisprudensi hukum umat Islam di awal abad kesepuluh seara formal menyakinkan bahwa saat itu kekuatan kreatifnya menjadi habis dengan adanya satu doktrin yang dikenal dengan tertutupnya pintu ijtihad. Hak ijiihad digantikan dengan kewajiban ta’lid (meniru). Dan setiap ulama pun lantas menjadi muqollid (peniru atau pengekor) yang harus menerima dan mengikuti ajaran para pendahulu mereka. Sementara penulis modern menyatakan bahwa doktrin ini timbul dari keadaan khusus pada penyerangan Mongol di abad ketiga belas, yaitu ketika warisan berharga berupa syari’ah dibalseni dan dikuburkan dalam rangka melindunginya dari gerombalan Jengis khan yang bengis. Tetapi, sebenarnya secara historis gejala ini telah muncul tiga abad sebelumnya. Dan boleh jadi hal ini disebabkan oleh sebab-sebab internal, bukan tekanan dari luar. Penghargaan berlebihan terha­dap para ulama pendahulu, terhadap pribadi mereka, melahirkan keperca­yaan bahma pekerjaan menafsirkan dan mengembangkan secara mendalam sudah selesai dan ulama-ulama (dulu) yang kemarnpuan­nya tak tertandingi itu dan bahwa usaha mereka sudah bernasil mengantar­kan syari’ah pada bentuk final vang sempurna. Sikap ini tentu saja secara erat merupakan akibat dari melebarnya wilayah ijma' yang berakibat melemahkan.
Coulson melaporkan tentang adanya penyerapan hukum Eropa oleh hukum Islam. Menurut hasil penelitiannya, semenjak akhir abad kesembilan belas, syriah yang murni di Timur Tengah dalam bentuk tradisionalnya hanya terbatas pada bidang hukum keluarga, yang selanjutnya memasukkan hukum waris, sistem waqf dan dalam banyak kasus hukum hibah hanya Jazirah Arab yang pada umumnya masih kebal dari pengaruh hukum Eropa. Di sini, Saudi Arabia, Yaman, dan Hadramaut serta beberapa kerajaan di Teluk Persia, hingga hari ini hukum Islam tradisional, masih tetap fundamental dan dengan beberapa modifikasi kecil-kecilan masih tetap mengatur setiap aspek dari hubungan hukum.
Berdasar pada hasil penelitian tersebut, tampak bahwa dengan menggunakan pendekatan historis, Coulson lebih berhasil menggambarkan perjalanan hukum islam dari sejak berdirinya hingga sekarang secara utuh. melalui penelitiannya itu, Coulson telah berhasil menempathan hukum Islam sebagal perangkat dari perilaku teratur dan merupakan suatu lembaga. Di dalam prosesnya, hukum sebagai lembaga sosial memenuhi kebutuhan pokok manusia akan kedamaian dalam masyarakat. Warga masyarakat tak akan mungkin hidup teratur tanpa hukum oleh karena norma-norma lainnya akan mungkin memenuhi kebutuhan nanusia ketenteraman secara tuntas. Dalam hukum Islam sebagai­mana diketahui misalnya memperhatikan sekali masalah keluarga, karena dari keluarga-keluarga yang baik, makmur, dan bahagia akan tersusun masyarakat yang baik, makmur, dan bahagia. Oleh karerla itu, keteguhan ikatan kekeluargaan perlu dipelihara, dan di sinilah terletak salah satu sebabnya ayat­-ayat ahkam mementingkan soal hidup kekeluargaan. Dengan melihat fungsi hukum demikian, pengamatan terhadap perubahan sosial harus dijadikan pertimbangan penting dalam rangka reformulasi hukum Islam.
3. Model Mohammad Atho Mudzhar
Hasil penelitian yang dituangkan dalam pendapat pertama mengemukakan tentang latar belakang dan karakteristik Islam di Indonesia serta pengaruhnya terhadap corak hukum Islam. Karakteristik tersebut dilihat dalam empat aspek, yaitu latar belakang kultur, doktrin teologi, struk­tur sosial, dan ideologi politik. Selanjutnya pada bagian ini juga dikemukakan tentang kondisi hukum Islam di Indonesia serta berbagai lembga yang memegang kekuasaan hukum tersebut mulai dari periode penjajahan sampai dengan periode Indonesia merdeka. Berbagai muatan pemikiran yang dikemukakan pada bagian pendahuluan ini digunakan sebagai alat untuk menganalisa herbagai produk yang dikeluarkan Majelis Ulama. Dengan demikian penelitian ini ingin melihat seberapa jauh latar belakang budaya, doktrin teologi, struktur sosial, dan ideologi politik yng dianut masyarakat dan pemerintah Indonnesia Majelis Ulama Indonesia.
Pada ketiga, penelitian tersebut isi produk fatwa yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia serta metode yang digunakan fatwa-fatwa tersebut antara lain meliputi bidang ibadah ritual, masalah keluarga, dan perkawinan, kebudayaan, makanan, perayaan hari-hari besar agama nasrani, masalah kedokteran, keluarga bencana dan lain sebagainya.
Sedangkan dalam bagian ke empat kesimpulan yang dihasilkan adalah bahwa Majelis Ulama Indonesia dalam kenyataannya tidak selalu konsisten mengikuti pola metodologi dalam penetapan fatwa sebagaimana dijumpai dalam ilmu fiqih. Fatwa-fatwa tersebut terkadang langsung merujuk pada Al-qur’an sebelum merujuk kepada Al-hadist.
Dengan memperhatikan uraian tersebut, terlihat bahwa bidang peneli­tian hukum islam yang dilakukan Atho Mudzhar termasuk penelitian uji teori atau uji asumsi (hipotesis) yang dibangun dari berbagai teori yang terdapat dalam ilmu sosiologi hukum. Peneliti dengan sangat jelas menggunakan asumsi yang ingin dibuktikan dalam penelitiannva itu. Dengan menggunakan penelitian ini tergolong penelitian kepustakaan. Sedangkan kerangka analisis yang digunakannya adalah sosiologi hukum
Hasil penelitian tersebut terasa mengejutkan sebahagian Ulama fiqih tradisional. Hal ini dinilai akan menghilangkan unsur kesakralan atau keku­dusan hukum Islam. Para ulama tradisional khawatir penelitian tersebut akan menempatkan hukum Islam sebagai hukum sekuler yang dapat di ubah seenaknya. Kesan demikian tidak mengherankan karena secara faktual hu­kun Islam atau fiqih yang selama ini dipelajari unlit Islam mulai dari tingkat dasar sampai dengan Perguruan Tinggi bersifat ahistoris, atau kehilagan konteks kesejarahannya. Para ulama yang mempelajari Fiqih pada umumnya tidak mengetahui berbagai faktor sosiokultural, politik, serta lainnya yang ikut serta mempengaruhi terbentuknya hukum tersebut. Akibat dari keadaan demikian mereka tidak mengetahui persis konteks.
Namun demikian, kita pun tidak sepenuhnya menerima pendapat yang mengatakan bahwa seluruh produk hukum islam harus disesuaikan dengan tuntutan zaman yang berkaitan dengan masalah ibadah ritual misalnya jelas tidak dipengaruhi oleh perubahan zaman serta ketentuan lainnya tentang ibadah jelas tidak mempengaruhi oleh perubahan seseorang memahami makna ibadah dalam kehiduoan oleh latar belakang penelitian lingkungan dan lain sebagainya.

Kesimpulan
Tujuan hukum islam (maqashid syar’iah) maksudnya adalah nilai-nilai yang terkandung dalam aturan islam. Beberapa tujuan hokum Islam yaitu:
  1. Pemeliharaan atas keturunan.
  2. Pemeliharaan atas akal
  3. Pemeliharaan atas kemuliaan atau kehormatan
  4. Pemeliharaan atas jiwa manusia
  5. Pemeliharaan atas harta
  6. Pemeliharaan atas agama
  7.  Pemeliharaan atas keamanan

Ada pendapat yang mengatakan bahwa pengertian hukum islam atau fiqih adalah sekelompok dengan syari’at-syari’at yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia yang di ambil dari nash Al-qur’an alsunnah. Bila ada nash dari Al-qur’an atau Al-sunnah yang berhubungan dengan amal perbuatan tersebut, atau yang diambil dari sumber sumber lain. Bila tidak ada nash dari Al-qur’an atau alsunnah di bentuklah suatu ilmu yang disebut dengan ilmu fiqiti. Dengan demikian yang di sebut ilmu fiqih ialah sekelompok hukum tentang amal perbuatan manusia yang diambil dari dalil yang terperinci.      
      Yang dimaksud dengan amal perbuatan orang mukallaf yang berhubungan dengan ibadat ibadat muamalat, kepidanaan dan sebagainya, bukan yang berhubungan dengan aqidah ( kepercayaan ). Sebab yang terakhir ini termasuk dalam pembahasan ilmu kalam.
Berdasarkan batasan tersebut diatas sebenarnya dapat di bedakan antara syari’ah dan hukum islam atau fiqih perbedaan tersebut terlihat pada dasar atau dalil yang digunakanya, jika syari’at di dasarkan kepada nash Al-qur’an atau alsunnah secara langsung tanpa memelurkan penalaran penalaran atau istihad dengan tetap berpegang pada semangat yang terdapat dalam syari’at. Namun, dalam prakteknya antara syari’at dan fiqih sulit di bedakan ketika kita mengkaji suatu masalah misalnya kita pergunakan nash Al-qur’an dan Al-sunnah tersebut tetap memerlukan pilihan yang menggunakan akal.
      Dalam sebuah penelitiannya Harun Nasution melaporkan bahwa di periode Nabi segala persoalan dikembalikan kepada nabi untuk menyelesaikannya, Nabilah yang menjadi satu-satunya sumber hukum. Secara langsung pembuat hukum adalah Nabi, tetapi secara tidak langsung Tuhanlah pembuat hukum, karena hukum yang dikeluarkan Nabi bersumber pada wahyu, dari Tuhan. Nabi sebenarnya bertugas menyampaikan dan melaksanakan hukum yang telah diwahyukan kepadanya.
            Hasil penelitian J. Coulson dituangkan dalam tiga bagian. Bagian pertama menjelaskan tentang terbentukya hukum syariat, dan, yang di dalamnya dibahas tentang legalisasi Alqur’an, praktek hukum di abad pertama Islam, sebagai mazhab petama, lmam Al-Syaf’i, Bapak Yurisprudensi. Bagian kedua, berbicara tentang pemikiran dan praktek hukum Islam di abad pertengahan. Bagian ketiga, berbicara tentang hukum Islam dimasa modern yang di dalamnya dibahas tentang penyerapan hukum Eropa, hukum syariat kontemporer, taklid dan pembaharuan hukum serta neo ijtihad.
Menurut Atho Mudzhar dalam Hasil penelitian ia tuangkan dalam pendapat pertama mengemukakan tentang latar belakang dan karakteristik Islam di Indonesia serta pengaruhnya terhadap corak hukum Islam. Karakteristik tersebut dilihat dalam empat aspek, yaitu latar belakang kultur, doktrin teologi, struk­tur sosial, dan ideologi politik.









DAFTAR PUSTAKA
Azizy,A.Qordory.2003 Melawan Globalisasi: Reinterpretasi Ajaran Islam. Jogjakarta : Pelajar.

Al Maliki,Abdurrahman. Politik Ekonomi Islam.Bangil Al Izzah