BAB
I
1.1.
Latar Belakang Masalah
Masalah ijtihad
merupakan masalah yang amat penting dalam ushul fiqh, karena dengan begitulah
seseorang bisa menghsilkan suatu hukum yang masih bersifat zhanny dari
keterangan – keterangan al – qur’an dan
sunah untuk memperoleh suatu hukum syara’ yang dapat diamalkan. Akan tetapi
pada masa kini banyak sekali orang melakukan ijtihad tanpa di kaitkan dengan
metodenya dan kurang berkompetennya seseorang yang melakukan ijtihad (
mujtahid).
Karena
pentingnya masalah ini disertai dengan diberikannya tugas dari dosen pembimbing
kepada kami yang berhubungan dengan masalah ini, akhirnya kami memberi judul
pada makalah ini dengan “ Ijtihad dan Metode dalam berijtihad”.
1.2. Rumusan Masalah
Seiring
dengan terterannya latar belakang masalah diatas, maka munculah beberapa
masalah yang dititik beratkan penelitian kami pada pembahasan yang mengenai :
b) kriteria apa sajakah yang harus
dipenuhi bagi seorang mujtahid??
c)
cara – cara dan hal – hal yang harus diperhatikan ketika berijtihad??
1.3. Pembatasan Masalah
Dengan
timbulnya beberapa masalah diatas maka kami hanya membatasi pada makalah ini
pada ijtihad dan metodenya sesuai dengan qaidah ushul fiqh.
1.4. Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
a) agar seseorang bisa mengetahui
perkara bagaimanakah yang harus dipilih
b) agar seseorang tidak mudah
mengatakan bahwa dirinya sebagai mujtid
1.5. Manfaat Penulisan
Mudah
– mudahan makalah ini bisa menjadi pegangan kita kedepan, mengenai hukum yang
harus diambil dan ditinggalkan. Dan diharapkan makalah ini bisa dijadikan
sebagai bahan referensi pembelajaran dalam mata kuliyah ushul fiqh. Serta dapat
dijadikan sebagai pertimbangan sebagai
pelaksanaan tugas mata kuliyah ini.
BAB
II
A. Devinisi
Kata ijtihad berasal dari kata kerja
yaitu اِجْتَهَدَ(bersungguh – sungguh ). Sedangkan ijtihad menurut istilah ushul fiqh adalah :
بَذْلُ الْفَقْيْهِ وُسْعَهُ وَطُلَبُ الْعِلْمِ بِأَحْكَمِ
الشَّرْعِيَّةِ
"seorang
ahli fiqih yang mencurahkan kesanggupannya dan berusaha keras untuk mendapatkan
satu ilmu tentang hukum syari’at”.
Dari istilah
diatas dapat diketahui bahwa seorang ahli fiqih atau ahli agama mengerahkan
usahanya dan bersengguh – sungguh hingga tingkat maksimal, guna menyelidiki dan
memeriksa keterangan – keterangan dalam al – quran dan sunah untuk memperoleh
sangkaan yang kuat atau hukum yang bersifat zhanny, dalam meng-istinbat-kan
suatu hukum syara’ untuk diamalkan.
B.
Syarat – syarat mujtahid
a) Mengerti bahasa arab
b) Mengerti tentang al – quran dan nasikh mansukh
c) Mengerti tentang sunnah
d) Mengetahui hal – hal yang di ijma’ kan dan yang di
ikhtilaf kan
e) Mengerti tentang qiyas
f) Mengetahui maksud – maksud hukum
g) Berhati bersih dan berniat lurus
Masalah – masalah yang menjadi
lapangan ijtihad adalah masalah – masalah yang bersifat zhanny, yakni hal – hal
yang belum jelas dalilnya baik dalam al – quran maupun hadis. Adapun hal – hal
yang bersifat qat’iy, yakni hal – hal yang telah tegas dalilnya seperti
wajibnya shalat, zakat, puasa dan lain – lain tidak ada ijtihad padanya.
Mengenai
kedudukan hasil ijtihad dalam masalah fiqih ada golongan yang berpendapat
bahwa, tiap – tiap mujtahid adalah benar dengan alasan karena dalam masalah
tersebut Allah tidak menentukan hukum tertentu sebelum di ijtihadkan. Adapun
dalil yang mengenai masalah ini sebagai berikut :
مَنِ اجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَمَنْ أَخْطَأَ فَلَهُ
أَجْرٌوَاحِدٌ (رواه البخارى و مسلم)
“siapa
yang berijtihad dan ternyata benar, maka mendapat dua pahala, dan (orang yang
berijtihad ) ternyata salah maka dapat satu pahala”.
BAB
III
Bagi
para mujtahid memiliki beberapa metode atau cara untuk mencurahkan hasil
ijtihadnya. Adapun metodenya adalah sebagai berikut :
Orang yang
menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan
keinginannya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui
bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara' dan sesuai
pula dengan kaidah-kaidah syara' yang umum"
A. Devinisi
Istihsan
menurut bahasa berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama ushulfiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau
kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara', menuju (menetapkan) hukum lain
dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada suatu dalil syara' yang
mengharuskan untuk meninggalkannya. Dalil yang terakhir disebut sandaran
istihsan.
Qiyas berbeda dengan
istihsan. Pada qiyas ada dua peristiwa atau kejadian. Peristiwa atau kejadian
pertama belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan
dasarnya. Untuk menetapkan hukumnya dicari peristiwa atau kejadian yang lain
yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash dan mempunyai persamaan 'illat
dengan peristiwa pertama. Berdasarkan persamaan 'illat itu ditetapkanlah hukum
peristiwa pertama sama dengan hukum peristiwa kedua. Sedang pada istihsan hanya
ada satu peristiwa atau kejadian. Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah
ditetapkan hukumnya berdasar nash. Kemudian ditemukan nash yang lain yang
mengharuskan untuk meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah
ditetapkan itu, pindah kepada hukum lain, sekalipun dalil pertama dianggap
kuat, tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu.
Dengan perkataan lain
bahwa pada qiyas yang dicari seorang mujtahid ialah persamaan 'illat dari dua
peristiwa atau kejadian, sedang pada istihsan yang dicari ialah dalil mana yang
paling tepat digunakan untuk menetapkan hukum dari satu peristiwa.
Yang berpegang
dengan dalil istihsan ialah Madzhab Hanafi, menurut mereka istihsan sebenarnya
semacam qiyas, yaitu memenangkan qiyas khafi atas qiyas jali atau mengubah
hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan
berdasar ketentuan umum kepada ketentuan khusus karena ada suatu kepentingan
yang membolehkannya. Menurut mereka jika dibolehkan menetapkan hukum
berdasarkan qiyas jali atau maslahat mursalah, tentulah melakukan istihsan
karena kedua hal itu pada hakekatnya adalah sama, hanya namanya saja yang
berlainan. Disamping Madzhab Hanafi, golongan lain yang menggunakan istihsan
ialah sebagian Madzhab Maliki dan sebagian Madzhab Hambali.
Yang menentang
istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Madzhab Syafi'i.
Istihsan menurut mereka adalah menetapkan hukum syara' berdasarkan keinginan
hawa nafsu. Imam Syafi'i berkata: "Siapa yang berhujjah dengan istihsan
berarti ia telah menetapkan sendiri hukum syara' berdasarkan keinginan hawa
nafsunya, sedang yang berhak menetapkan hukum syara' hanyalah Allah SWT."
Dalam buku Risalah Ushuliyahkarangan beliau, dinyatakan:
"Perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang
melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah
itu adalah arah Ka'bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara' untuk
menentukan arah Ka'bah itu."
Jika diperhatikan
alasan-alasan yang dikemukakan kedua pendapat itu serta pengertian istihsan
menurut mereka masing-masing, akan jelas bahwa istihsan menurut pendapat
Madzhab Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi'i. Menurut
Madzhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu
kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi'i,
istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang
lebih enak. Seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian
ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat
dikurangi. Karena itu asy-Syathibi dalam kitabnya Al-Muwâfaqât menyatakan:
"orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan
rasa dan keinginannyya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang
diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara' dan
sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara' yang umum".
Ditinjau dari
segi pengertian istihsan menurut ulama ushul fiqh di atas, maka istihsan itu
terbagi atas dua macam, yaitu:
1) Pindah dari qiyas
jali kepada qiyas khafi, karena ada dalil yang mengharuskan pemindahan itu.
2) Pindah dari hukum
kulli kepada hukum juz-i, karena ada dalil yang mengharuskannya. Istihsan macam
ini oleh Madzhab Hanafi disebut istihsan darurat, karena penyimpangan itu
dilakukan karena suatu kepentingan atau karena darurat.
Contoh istihsan macam
pertama:
- Menurut Madzhab Hanafi: sisa minuman burung buas, seperti sisa burung
elang burung gagak dan sebagainya adalah suci dan halal diminum. Hal ini
ditetapkan dengan istihsan. Menurut qiyas jali sisa minuman binatang buas,
seperti anjing dan burung-burung buas adalah haram diminum karena sisa minuman
yang telah bercampur dengan air liur binatang itu diqiyaskan kepada dagingnya.
Binatang buas itu langsung minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke
tempat minumnya. Menurut qiyas khafi bahwa burung buas itu berbeda mulutnya
dengan mulut binatang huas. Mulut binatang buas terdiri dari daging yang haram
dimakan, sedang mulut burung buas merupakan paruh yang terdiri atas tulang atau
zat tanduk dan tulang atau zat tanduk bukan merupakan najis. Karena itu sisa
minum burung buas itu tidak bertemu dengan dagingnya yang haram dimakan, sebab
diantara oleh paruhnya, demikian pula air liurnya. Dalam hal ini keadaan yang
tertentu yang ada pada burung buas yang membedakannya dengan binatang buas.
Berdasar keadaan inilah ditetapkan perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas
khafi, yang disebut istihsan.
Contoh istihsan macam
kedua
- Syara' melarang seseorang memperjualbelikan atau mengadakan perjanjian
tentang sesuatu barang yang belum ada wujudnya, pada saat jual beli dilakukan.
Hal ini berlaku untuk seluruh macam jual beli dan perjanjian yang disebut hukum
kuIIi. Tetapi syara' memberikan rukhshah (keringanan) kepada pembelian barang
dengan kontan tetapi barangnya itu akan dikirim kemudian, sesuai dengan waktu
yang telah dijanjikan, atau dengan pembelian secara pesanan (salam). Keringanan
yang demikian diperlukan untuk memudahkan lalu-lintas perdagangan dan
perjanjian. Pemberian rukhshah kepada salam itu merupakan pengecualian
(istitana) dari hukum kulli dengan menggunakan hukum juz-i, karena keadaan
memerlukan dan telah merupakan adat kebiasaan dalam masyarakat.
Istislah
menurut bahasa adalah kebaikan. Sedangkan istishlah yang dimaksudakna oleh ahli
ushul fiqih adalah :
أَنْ يُوْجَدَمَعْنًى يُشْعِرُ بِالْحُكْمِ مُنَاسِبٌ
عَقْلاَوَلاَيُوْجَدُاَصْلٌ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
“bahwa
terdapat satu makna yang dirasa ketentuan itu cocok dengan akal sedang dalil
yang di sepakati tentang ( hal tersebut
) tidak terdapat.”
Contoh :
· Dalam al – quran dan hadits tidak
terdapat dalil yang menyuruh dan melarang pengumpulan al – quran. Tetapi karena
dalam hal tersebut terdapat satu makna yang mengandung kemaslahatan menurut pertimbangan
akal, maka yang demikian itu dilakukan. Alasan tersebutlah yang dinamakan
dengan istislah ( maslahatul mursalah).
·
Larangan
minum racun, tidak terdapat dalam al – quran dan hadits dengan tegas. Tetapi
dalam hal ini akal menetapkan akan makna kerusakan yang di kandungnya. Oleh
karena itu, ditetapkanlah bahwa terlarang meminumnya. Alasan - alasan hingga
terlarang yang demikian itulah yang dinamakan istislah ( maslahatul mursalah ).
Adapun alasan para ulama membolehkan
berdalil dengan istislah (maslahatul mursalah) adalah : bahwa sanya Allah
mengutus rasul – rasul bertujuan untuk kemaslahatan atau kemanfaatan manusia.
Demikian juga Allah menurunkan syariatnya adalah untuk kemaslahatan manusia.
Sedangkan istislah ( maslahatul mursalah ) sama pula tujuannya. Oleh karena
itu, syekh ibnu taimiyah berkata bahwa “apabila seseorang mendapat kesulitan
dalam memeriksa hukum sesuatu, apakah hukumnya mubah atau haram, maka lihatlah
maslahah
(
kebaikan ) dan mafsadah ( kerusakan) nya sebagai dasar.
Diantara mazhab
yang dikenal banyak memakai istislah ( maslahatul mursalah ) dalam menetapkan
hukum adalah Malik bin Annas atau yang dikenal dengan sebutan “Imam Malik”.
A. Definisi
Istishab menurut bahasa berarti ”mencari sesuatu yang
ada hubungannya”. Menurut istilah ulama fiqh, ialah tetap berpegang pada
hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau kejadian sampai ada dalil yang
mengubah hukum tersebut. Atau dengan kata lain, ialah menyatakan tetapnya hukum
pada masa lalu, sampai ada dalil yang mengubah ketetapan hukum tersebut.
Menurut
Ibnu Qayyim, istishab ialah menyatakan tetap berlakunya hukum yang telah ada
dari suatu peristiwa, atau menyatakan belum adanya hukum suatu peristiwa yang
belum pernah ditetapkan hukumnya. Sedangkan menurut Asy Syatibi, istishab ialah
segala ketetapan yang telah ditetapkan pada masa lampau dinyatakan tetap
berlaku hukumnya pada masa sekarang.
Dari
pengertian istishab di atas, dapat dipahami bahwa istishab itu ialah:
1) Segala
hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tetap berlaku pada masa
sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubahnya.
2)
Segala hukum yang ada pada masa sekarang, tentu telah ditetapkan pada masa yang
lalu.
Contoh :
Muhammad telah menikah dengan Aisyah, kemudian mereka berpisah selama
15 tahun,karena telah lama mereka berpisah lalu Aisyah ingin menikah lagi dengan lelaki lain, dalam hal ini Aisyah belum bisamenikah
lagi karena ia masih terikat tali perkawinan dengan Muhammaddan hukum tali
perkawinan walaupun mereka telah berpisah.
Kaidah-kaidah
istishab antara lain:
- الْاَصْلُ بَقَاءُ مَاكَانَ عَلَى
مَاكَانَ حَتَّى يَثْبُتُ مَا يُغَيِّرُهُ”(pada asalnya segala sesuatu itu tetap (hukumnya) berdasarkan
ketentuan yang telah ada sehingga ada dalil yang merubahnya)”
-الْاَصْلُ فِي اْلاَشيَاءِ الْاِ بَاحَة “(pada
asalnya hukum segala sesuatu itu boleh)” - الْاَصْلُ فِي الْاِنْسَانِ اْلبَرَاءَةُ
“(manusia pada asalnya adalah bebas dari
beban)” -مَاثَبَتَ بالْيَقِيْنِ لَايَزُوْلُ بِالشَّكِّ
وَلَايَزُوْلُ اِلَّا مِثْلُهُ “(apa yang telah ditetapkan dengan yakin,
maka ia tidak bisa gugur karena keragu-raguan. Dan
Ia tidak bisa gugur kecuali dengan yakin juga)”
Maka orang yang yakin bahwa ia masih mempunyai wudhu’
dan ragu-ragu jika dirinya telah batal, maka ia dihukum masih mempunyai wudhu’,
dan shalatnya sah. Hal demikian berbeda dengan pendapat ulama dari golongan
Malikiyah yang berpedapat wajib berwudhu’ lagi. Sebab, menurut mereka tanggung
jawab (beban)nya adalah menjalankan shalat dengan penuh keyakinan. Karena
tanggung jawab tersebut tidak lepas kecuali dengan mengerjakan shalat dengan
benar dan penuh keyakinan. Dan hal itu harus dilakukan dengan wudhu’ agar tidak
diragukan kebatalannya.
A. Devinisi
Secara bahasa kata Sadd berarti
menutup dan al-zariah berarti wasilah atau jalanan kesuatu tujuan. Dengan demikian sadd adzariah
berarti menutup jalan yang mencapaikan kepada tujuan. Dalam kajian ushul fiqh
sebagaimana dkemukakan Abdul Karim Zaidah, Sadd Adz-zariah adalah menutup jalan
yang membawa kebinasaan atau kejahatan. Sebagian ulama mengkhususkan pengertian
dzariah dengan sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung
kemudharatan. Akan tetapi, pendapat tersebut ditentang oleh para ulama ushul
lainnya, diantaranya Ibnu Qattim Aj-Jauziyah yang menyatakan bahwa dzariah itu
tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang, tetapi ada juga yang dianjurkan.
Contoh: haul (genap setahun) ia menghibahkan hartanya kepada
anaknya sehingga dia terhindar dari kewajiban zakat.
Dikalangan ulama ushul terjadi
perbedaan pedapat dalam menetapkan kehujjahan sadd adz-dzariah sebagai dalil
syara’ ulama malikiyah dan hanafiah dapat menerima kehujjahannya sebagai salah
satu dalil syara’. Alasan mereka antara lain:
Firman Allah dalam surat An An’am:
وَلَا تَسُّبُوْاالَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ فَيَسُبُّوْاالله عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمِ.. ﴿الانعم : 108﴾
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah
selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas
tanpa pengetahuan….(QS: An An’am:108)
Dalam ayat ini Allah melarang kaum muslimin memaki-maki orang
musryikin atau Tuhan yang mereka sembah. Karena perbuatan yang demikian itu
menjadi sebab mereka akan membalas memaki-maki Tuhan Allah SWT.
Sumber dari hadist antara lain, sabda Rasulullah:
“Sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang melaknat
kedua orang tuanya, lalu Rasulullah SAW ditanya,”wahai Rasulullah, bagaimana
mungkin seseorang akan melaknat ibu bapak nya. Rasulullah SAW manjawab”seseoang
yang mencaci maki ayah orang lain, maka ayahnya juga akan dicaci maki orang
lain dan seseorang mencacimaki ibu orang lain, maka orang lain pun mencaci maki
ibunya.(HR. bukhori dan Muslim).
Dari beberapa nash yang telah
dikemukakan diatas, dipahami bahwa Islam melarang suatu perbuatan yang dapat
menyebabkan sesuatu yang terlarang, meskipun perbuatan tersebut semulanya
dibolehkan. Sementara dikalangan Hanafiyah, Syafi’iyah dan Syiah hanya menerima
Sadd adz-Dzariah dalam masalah tertentu dan mereka tidakmenjadikannya sebagai
dalil dalam masalah-masalah lain, misalnya, Imam Syafi’I membolehkan seseorang
yang karena uzur, seperti sakit dan musafir meninggalkan sholat zuhur, namun
orang tersebut hendaklah melaksanakan sholat zuhur secara diam-diam dan
tersembunyi supaya tidak dituduh sengaja meniggalkan sholat jum’at. Begitu pula
dengan orang yang tidak puasa Ramadhan karena uzur agar makan dan minum di
tempat umum uuntuk menghindar fitnah terhadap orang tersebut. Pedapat-pendapat
Imam Syafi’I ini dirumuskan atas dasar perinsip Sadd adz-Dzariah.
A.Definisi Qoul Shohabi
Terdapat beberapa definisi mengenai qoul
shohabi ini, di antaranya:
1. Perkataan seorang sahabat yang tersebar
pada sahabat-sahabat yang lainnya tanpa diketahui ada sahabat lain yang
menentangnya.
2. Fatwa seorang sahabat atau madzhab
fiqihnya dalam permasalahan ijtihadiyah.
3. Madzhab sahabat dalam sebuah
permasalahan yang termasuk objek ijtihad.
4. Dr. Musthafa Daib Al-Bugha,
mengistilahkan qoul shohabi dengan madzhab shohabi, yaitu segala hal yang
sampai kepada kita dari salah seorang sahabat Rasul baik berupa fatwanya atau
ketetapannya dalam permasalahan yang berkaitan dengan syari’at, yang tidak terdapat
dalam nash Al-Qur’an dan As-Sunnah dan belum ada ijma’ dalam permasalahan
tersebut.
Dari beberapa defini qoul shohabi di atas,
penulis menyimpulkan bahwa qoul shohabi adalah hal-hal yang sampai kepada kita
dari sahabat baik itu berupa fatwa atau ketetapannya, perkataan dan
perbuatannya dalam sebuah permasalahan yang menjadi objek ijtihad. yang belum
ada nash yang sharih baik dari Al-Qur’an atau As-Sunnah yang menjelaskan hukum
permasalahan tersebut.
Para ulama
membagi qoul shohabi ke dalam beberapa macam, di antaranya Dr. Abdul karim
Zaedan yang membaginya ke dalam beberapa macam:
1. Perkataan sahabat terhadap hal-hal yang
tidak termasuk objek ijtihad. Dalam hal ini para ulama semuanya sepakat bahwa
perkataan sahabat bisa dijadikan hujjah. Karena kemungkinan sima’ dari Nabi
Saw. sangat besar. Sehingga perkataan sahabat dalam hal ini bisa termasuk dalam
kategori As-Sunnah, meskipun perkataan ini adalah hadits mauquf. Pendapat ini
dikuatkan oleh Imam As-Sarkhasi dan beliau memberikan contoh perkataan sahabat
dalam hal-hal yang tidak bisa dijadikan objek ijtihad, seperti, perkataan Ali
bahwa jumlah mahar yang terkecil adalah sepuluh dirham, perkataan Anas bahwa
paling sedikit haid seorang wanita adalah tiga hari sedangkan paling banyak
adalah sepuluh hari.
Namun contoh-contoh tesebut ditolak oleh
beberapa ulama As-Syafi’iyah, bahwa hal-hal tersebut adalah
permasalahan-permaslahan yang bisa dijadikan objek ijtihad. Dan pada
kenyataannya baik jumlah mahar dan haid wanita berbeda-beda dikembalikan kepada
kebiasaan masing-masing.
2. Perkataan sahabat yang disepakati oleh
sahabat yang lain. Dalam hal ini perkataan sahabat adalah hujjah karena masuk
dalam kategori ijma’.
3. Perkataan sahabat yang tersebar di
antara para sahabat yang lainnya dan tidak diketahui ada sahabat yang
mengingkarinya atau menolaknya. Dalam hal inipun bisa dijadikan hujjah, karena
ini merupakan ijma’ sukuti, bagi mereka yang berpandapat bahwa ijma’ sukuti
bisa dijadikan hujjah.
Setelah
dijelaskan di atas bahwa perkataan sahabat memiliki beberapa macam variasi,
semua ulama sepakat bahwa perkataan sahabat yang diperselisihkan keabsahannya
sebagai hujjah adalah :
1. Perkataan sahabat yang berasal dari
pendapat dan ijtihadnya sendiri
2. Perkataan sahabat terhadap permasalahan
yang bisa dijadikan objek ijtihad
3. Perkataan sahabat yang tidak tersebar di
antara para sahabat yang lainnya dan tidak ada sahabat yang mengingkari
pendapat tersebut.
4. Perkataan sahabat terhadap suatu
permasalahan yang tidak ada nash yang sharih baik Al-Qur’an ataupun As-Sunnah.
5. Perkataan sahabat yang sampai kepada
generasi sesudahnya, seperti tabi’in dan berlanjut hingga ke zaman sekarang.
Adapun
perkataan sahabat selain dari keadaan yang sudah disebutkan di atas tidak dapat
dijadikan hujjah dalam pengambilan hukum Islam.
Secara
garis besar terjadi beberapa pendapat mengenai hal ini, seperti Ulama yang
berpendapat bahwa qoul shohabi dapat dijadikan hujjah secara mutlak dan
didahulukan dari pada qiyas. Di antaranya Imam Malik dan Imam Ahmad dalam satu
riwayatnya.
Adapun dalil yang mereka pegang sehingga
berpendapat bahwa qoul shohabi adalah hujjah secara mutlak yaitu:
a. Al-Qur’an
- Firman Allah swt,”Kamu adalah umat yang
terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan
mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab
beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman
dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”. (QS. 3:110)
-“Orang-orang yang terdahulu lagi yang
pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan
Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di
dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang
besar”. (QS. 9:100)
- Firman Allah swt yang menerangkan
kelebihan para sahabat secara umum, di antaranya: “Ikutilah orang tiada minta
balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS.
36:21)
- “Dan ikutilah jalan orang yang kembali
kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu
apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. 31:15)
b. As-Sunnah
- Rasulullah saw bersabda,” Sahabatku
ibarat bintang, maka dimanapun kalian mengikutinya kalian akan mendapatkan
petunjuk”.
- Rasulullah saw bersabda,” Hendaklah
kalian mengikuti Sunnahku dan sunah khulafa ar-rasyidin setelahku…
- Diriwayatkan oleh tirmidzi dan huzaifah
bahwa Rasulullah saw bersabda,” ikutilah oleh kalian orang-orang setelahku: Abu
baker dan Umar”.
- Rasulullah saw bersabda,” Sebaik-baiknya
generasi adalah generasi pada zamanku kemudian generasi setelahnya lalu genersi
setelahnya lagi”. (HR. Muslim)
c. Ijma’
Ketika Abdurrahman bin ‘Auf menjadi ketua
panitia pemilihankhalifah setelah Umar. Ia pertama kali menawarkan kepada Ali
untuk menjadi khalifah dengan syarat mengikuti sunah kedua khalifah sebelumnya.
Tapi Ali menolak. Kemudian ia menawarkan pada Utsman dengan syarat yang sama,
Utsman pun menerimanya. Pada saat itu tidak ada seorang sahabatpun yang
mengingkari syarat yang diajukan Abdurrahman bin’Auf itu sehingga sampai pada
derajat ijma’.
d. Dalil Akal
- Kemungkinan sima’ dan taukif dalam
perkataan sahabat sangat kuat. Dan secara kebiasaan tidak mungkin para sahabat
berfatwa kecuali berdasarkan kepada riwayat yang didengarnya. Dan tidaklah para
sahabat berfatwa berdasarkan pendapatnya kecuali dalam keadaan darurat.
- Bahwa perkataan sahabat meskipun
bersumber dari akal atau ijtihad, maka ijtihadnya lebih kuat dari pada yang
lainnya. Karena para sahabat menyaksikan langsung turunnya Al-Qur’an, dan
mengetahui metode-metode Rasulullah Saw. dalam menyampaikan dan menjelaskan
berbagai hukum dalam suatu permasalahan.
A. pengertian
Yang dimaksud
dengan syariat umat sebelum Nabi
Muhammad adalah syariat atau agama yang telah ada sebelum turunnya syariat
islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Seperti agama yang dibawa oleh nabi
Isa dengan kitab sucinya bernama injil, atau agama yang dibawa oleh nabi Musa
dengan kitab sucinya bernama taurat, atau agama yang dibawa oleh nabi Daud
dengan kitab sucinya yang bernama zabur.
Hal ini
dibicarakan dalam ilmu ushul fiqh, agar kita mengetahui boleh tidaknya
mengikuti peraturan – peraturan agama yang dibawa oleh Nabi – Nabi sebelum nabi
Muhammad, mengenai hal – hal ini ada yang telah disepakati dan ada juga yang
diperselisihkan.
1. hal – hal yang disepakati
a) mengenai hukum – hukum agama sebelum islam, yang ternyata
telah dihapus oleh islam, ulama telah sepakat tentang tidak bolehnya beramal
dengannya
b) mengenai hukum – hukum agama sebelum islam, yang mana syariat
islam (al–quran dan hadis) telah menetapkan berlakunya hukum tersebut, para
ulama sepakat tentang wajibnya setiap muslim mengamalkannya.
2. hal – hal yang diperselisihkan
Yaitu nash al-quran ataupun
matan hadis yang meriwayatkan tentang peraturan / hukum agama – agama sebelum
islam, sedang nash atau matan hadis itu tidak secara tegas
melarang kita mengikutinya.
Sebagai contoh misalnya firman Allah yang berbunyi:
وَكَتَبْنَاعَلَيْهِمْ فِيْهآ أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسّنِّ وَالْجُرُوْحَ قِصَاصٌ...(المائدة : 54)
“dan kami wajibkan atas mereka (bani israil) dalam kitab taurat,
bahwa jiwa dibalas dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga
dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka dengan luka, sebagai qishas…
Sehubungan
dengan ayat diatas, pendapat para ulama terbagi – bagi. Diantaranya:
1. berpendapat bahwa yang
demikian wajib diikuti dan diamalkan, karena dengan
diceritakannya pada kita berarti merupakan syariat bagi kita,
yang dibawa oleh rasul juga. Yang berpendapat seperti ini adalah golongan hanafiyah
sebagian malikiyah dan syafi’iyah.
2. berpendapat bahwa, peraturan atau hukum agama – agama sebelum
islam tidak boleh kita amalkan, karena kedatangan agama islam adalah menghapus
sekalian hukum – hukum yang terdahulu.
‘Urf menurut
bahasa adalah adat atau kebiasaan ( satu kebiasaan yang terus menerus ).
Sedangkan urf menurut ulama usul fiqh adalah :
مَااِعْتَادَهُ النَّاسُ اَوْفِئَـةٌ مِنْهُمْ فِى مُعَامَلَاتِهِمْ وَيَسْتَقِـرُّ فِى نُفُوْسِهِمْ مِنَ اْللأُمُوْرِالْمُكَرَّرَةِ الْمَقْبُــوْلَةِ عِندَالطَّبْعِ السَّلِيْمَةِ
“sesuatu
yang telah terbiasa ( dikalangan ) manusia atau
pada sebagian mereka dalam hal muamalat dan telah melihat / tetap dalam
diri – diri mereka dalam beberapa hal secara terus menerus yang diterima oleh
akal yang sehat.
Contoh :
- saling
pengertian manusia terhadap jual beli, dengan cara saling memberikan tanpa ada
shighat lafzhiyyah ( ungkapan melalui perkataan ).
Adapun tentang pemakaiannya, urf adalah
sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dikalangan ahli ijtihad atau bukan ahli
ijtihad, baik yang berbentuk kata – kata atau perbuatan. Dan sesuatu hukum yang
di hukum tetapkan atas dasar urf dapat berubah karena kemungkinan adanya
perubahan urf itu sendiri atau perubahan tempat, zaman, dan sebagainya. Seperti
kejadian nyata yang terjadi pada imam syafi’I ketika imam syafii berada di irak
mempunyai pendapat – pendapat yang berlainan dengan pendapat beliau sendiri
setelah pindah ke mesir. Dikalangan ulama, pendapat imam syafi’I ketika diirak
disebut quul qadim ( ucapan dahulu / lama), sedangkan pendapat di mesir adalah
qaul jadid ( ucapan sekarang / baru ).