Friday, January 13, 2012

Ilmu Hadist dan cabangnya


ILMU HADIST DAN CABANG-CABANGNYA

A.    Pengertian Ilmu Hadis
Ilmu hadis ( ’Ulum Al-Hadis ), secara kebahasaan berarti ilmu – ilmu tentang hadis. Kata ’ulum adalah bentuk jamak dari kata ’ilm (ilmu).[1]
Secara etimologis, seperti yang dikemukakan oleh As-Syuyuthi, ilmu hadis adalah :
علم يبحث فيه عن كيفية اتصا ل الحديث برسول الله ص.م. من حيث احوال رواته ضبطا وعدا لة ومن حيث كيفية السند                                                                                                           التصالاوانقطاعا وغيرذلك                                                                                                                          
Ilmu pengetahuan yang membicarakan cara-cara persambungan hadis sampai kepada Rasul SAW. dari segi hal ikhwal para rawinya, yang menyangkut ke-dhabitan dan ke-’adil-annya dan dari bersambung dan terputusnya sanad, dan sebagainya. [2]
Dalam hubungannya dengan pengetahuan tentang hadis, ada ulama yang menggunakan bentuk ’ulum al-hadits,seperti Ibnu Salah (w. 642 H/1246 M) Dalamkitabnya ’Ulum Al-Hadits, dan ada juga yang menggunakan bentuk ’ilm al-hadis, seperti Jalaludin As-Suyuthi dalam mukamidah kitab hadisnya, Tadrib Ar-Rawi . Penggunaan bentuk jamak disebabkan ilmu tersebut bersangkut-paut dengan hadis Nabi SAW. yang banyak macam dan cabangnya. Hakim An-Naisaburi (321 H/933 M-405 H/1014 M) misalnya, dalam kitabnya Ma’rifah ’Ulum Al-Hadits mengemukakan 52 macam ilmu hadis. Muhammad bin Nasir Al-Hazimi, ahli hadis klasik, mengatakan bahwa jumlah ilmu hadis mencapai lebih dari 100 macam yang masing-masing mempunyai objek kajian khusus sehingga bisa dianggap sebagai suatu ilmu tersendiri.
Secara garis besar, ulama hadis mengelompokkan ilmu hadis tersebut kedalam dua bidang pokok, yakni ilmu hadis riwayah dan ilmu hadis dirayah.
1.      Ilmu Hadits Riwayah
Kata riwayah artinya periwayatan atau cerita. Ilmu hadis riwayah, secara bahasa, berarti ilmu hadis yang berupa periwayatan.
Para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikan ilmu hadis riwayah, namun yang paling terkenal di antara definisi-definisi tersebut adalah definisi Ibnu Al-Akhfani, yaitu,
علم الحديث الخا ص ب الرواية علم يشتمل على اقوال النبي ص.م. وافعا له وروايتها وضبطها وتحرير الفا ظها.                              
Ilmu hadis riwayah adalah ilmu yang membahas ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan Nabi SAW. , periwayatannya, pencatatannya, dan penelitian lafazh-lafazhnya.[3]
Namun menurut ’Itr, definisi ini mendapat sanggahan dari beberapa ulama hadis lainnya karena tidak komprehensif, tidak menyebutkan ketetapan dan sifat-sifat Nabi SAW. definisi ini juga tidak mengindahkan pendapat yang menyatakan bahwa hadis itu mencakup segala apa yang di misbatkan kepada sahabat atau tabiin sehingga pengertian hadis yang lebih tepat, menurut ’Itr, adalah,
علم يشتمل على اقوال ا لنبي ص. م.وا فعا له وتقريرته وصفا تها وروايتها وضبطها وتحرير الفا ظها.
Ilmu yang membahas ucapan, perbuatan, ketetapan dan sifat – sifat Nabi SAW, periwayatannya, dan penelitian lafadz – lafadznya.
           Ilmu hadits riwayah mengupayakan pengutipan bebas dan cermat bagi segala sesuatu yang bersandar kepada Nabi SAW, juga segala sesuatu yang bersandar kepada para sahabat serta tabi’in.
           Ilmu hadits riwayah bertujuan memelihara hadis Nabi SAW. dari kesalahan dalam proses periwayatan atau dalam penulisan dan pembukuannya. Ilmu ini juga bertujuan agar umat Islam men- jadikan Nabi SAW. sebagai suri tauladan melalui pemahaman terhadap riwayat yang berasal darinya dan mengamalkannya.
Objek kajian Ilmu Hadis Riwayah adalah hadis Nabi SAW dari segi periwayatan dan pemeliharaanya. Hal tersebut mencakup :
  1. Cara periwayatan hadis, baik dari segi penerimaan dan juga cara penyampaiannya dari seorang perawi kepada perawi yang lain;
  2. Cara pemeliharaan Hadis, yaitu dalam bentuk penghafalan, dan pembukuannya.
              Ulama yang dipandang paling terkenal dan sebagai pelopor ilmu hadis riwayah adalah Au Bakar Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (51-124 H), seorang imam dan ulama besar di Hedzaj (Hijaz) dan Syam (Suriah). Dalam sejarah perkembangan perkembangan hadis, Az-Zuhri terca tat sebagai ulama pertama yang menghimpun hadis Nabi SAW. atas perintah Umar bin Abdul Aziz atau Khalifah Umar  II (memerintah 99 H/717 M-102 H/720 M).
           Usaha penghimpunan, penyeleksian, penulisan, dan pembukuan hadis secara besar-besaran dilakukan oleh ulama hadis pada abad ke 3 H, seperti Imam Al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam At-Tirmidzi dan ulama-ulama hadis lainnya melalui kitab hadis masing-masing.
2.      Ilmu Hadis Dirayah
           Istilah ilmu hadis dirayah, menurut As-Syuyuthi, muncul setelah masa Al-khatib Al-Bagdhadi,yaitu pada masa Al-Akfani. Ilmu ini dikenal juga dengan ilmu ushul al-hadis, ‘ulum al-hadis, musthalah al-hadis, dan qawa’id al-tahdis.[4]
               Ilmu dirayah hadits membahas masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan yang diriwayatkan untuk mengetahui apakah bisa diterima atau ditolak.
Ibnu Al-akfani memberikan definisi Ilmu Hadis Dirayah sebagai berikut :
وعلم الحديث الخاص باالدراية : علم يعرف منه حقيقة الرواية وشروطها وانواعها واحكامها وحال وشروطهم واصناف المروية وما يتعلق بها.                                                                                                                                           
Dan ilmu hadis yang khusus tentang dirayah adalah ilmu yang bertujuan untuk mengetahui hakikat riwayat, syarat-syarat, macam-macam, dan hukum-hukumnya, keadaan para perawi, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya.[5]
            Definisi yang paling baik, seperti yang diungkapkan oleh ‘Izzuddin bin Jama’ah, yaitu,
علم بقوانين يعرف بها احول االسند والمتن                                                                                                                     
 Ilmu yang membahas pedomaan-pedoman yang dengannya dapat diketahui keadaan sanad dan  matan.[6]
Tujuan dan faidah ilmu hadis dirayah adalah :
1.      Mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadis dan ilmu hadis dari masa ke masa sejak masa Rasulullah SAW. sampai masa sekarang.
2.      Mengetahui tokoh-tokoh dan usaha-usaha yang telah dilakukan dalam mengumpulkan, memelihara, dan meriwayatkan hadis.
3.      Mengetahui kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para ulama dalam mengklasifkasikan hadis lebih lanjut.
4.      Mengetahui istilah-istilah, nilai-nilai, dan kriteria-kriteria hadis sebagai pedoman dalam menetapkan suatu hokum syara’.
B.CABANG-CABANG ILMU HADIS
      1.  Ilmu Rijal Al-Hadis
        Ilmu rijal al-hadis adalah ilmu yang membahas hal ikhwal dan sejarah para rawi dari kalangan sahabt, tabiin, dan atba’ al-tabiin. Ulama hadis mendefinisikan ilmu rijal al-hadis, yaitu,
علم يبحث فبه عن رواة الحديث من الصحا بة والتا بعين ومن بعدهم                                                                        
Ilmu yang membahas para rawi hadis, baik dari kalangan sahabat, tabiin, maupun dari generasi – generasi sesudahnya.[7]
            Ilmu ini mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam ranah kajian ilmu hadis karena kajian ilmu hadis pada dasarnya terletak pada dua hal, yaitu matan dan sanad. Ilmu rijal al-hadis mengambil tempat yang khusus mempelajari persoalan-persoalan sekitar sanad maka mengetahui keadaan rawi yang menjadi sanad merupakan separuh dari pengetahuan.
Diantara kitab-kitab terkenal dalam cabang ilmu hadis ini adalah Al-Isti’ab fi Ma’rifah Al-Ashab karya Ibnu Abdul Bar (w.463 H), Al-Ishabah fi Tamyiz As-Shahabah, Tahzib At-Tahzib karya Ibnu HajarAl-Asqalani, dan Tahzib Al-Kamal karya Abul Hajjaj Yusuf bin Az-Zaki Al-MIzzi (w. 742 H).
2.      Ilmu Al-jarh wa At-ta’dil
  1. Al-jarh dan at-ta’dil secara Etimologis dan Terminologis
a.       Al-jarh secara etimologis merupakan bentuk mashdar, dari kata جرح يجرحه yang berarti seseorang membuat luka pada tubuh orang lain yang ditandai dengan mengalirnya darah dari luka itu.
b.      Al-jarh secara terminologis berarti munculnya suatu sifat dalam diri perawi yang menodai sifat adilnya atau mencacatkan hafalan dan kekuatan ingatannya, yang mengakibatkan gugur riwayatnya atau lemah riwayatnya atau bahkan tertolak riwayatnya. Sedang “at-tajrih” menyifati seorang perawi dengan sifat-sifat yang membawa konsekuensi penilaian lemah atas riwayatnya atau tidak diterima.
c.       Al-adl secara etimologis berarti sesuatu yang terdapat dalam jiwa bahwa sesuatu itu lurus, merupakan lawan dari lacur. Orang adil berarti yang diterima kesaksiannya. Ta’dil pada diri seseorang berarti menilainya positif.
d.      Al-adl secara terminologis berarti orang yang tidak memiliki sifat yang mencacatkan keagamaan dan keperwiraannya. Sehingga khabar dan kesaksiannya bisa diterima. 
         Pada dasarnya, ilmu al-jarh wa at-ta’dil merupakan bagian dari ilmu rijal al-hadits, namun karena ia dipandang sebagai bagian yang terpenting, ilmu ini dijadikan ilmu yang berdiri sendiri.
           Secara bahasa, kata al-jarh artinya cacat atau luka dan kata al-ta’dil artinnya mengadilkan atau menyamakan. Jadi, kata ilmu al-jarh wa at-ta’dil adalah ilmu tentang kecacatan dan keadilan seseorang. Ilmu ini membahas mengenai para perawi, sekitar masalah yang membuat mereka tercela atau bersih dalam menggunakan lafadz – lafadz tertentu.
       Para ulama hadis mendefinisikan al-jarh sebagai berikut.
الجرح عند المحدثين الطعن في راوي الحديث بما يسلب او يخل بعدالته او ضبطه                                                        
Jarh, menurut muhadditsin , adalah menunjukkan sifat-sifat cela rawi sehingga mengangkat atau mencacatkan adalah atau kedhabitannya. [8]
Kemudian, para ulama hadis mendefinisikan at-ta’dil sebagai berikut,
والتعديل عكسه وهو تزكية الراوى والحكم عليه با نه عدل اوضا بط                                                                        
Ta’dil adalah kebalikan dari jarh, yaitu menilai bersih terhadap seoramg rawi dan menghukumnya bahwa ia adil dan dhabith.[9]
Ulama lain mendefinisikan al-jarh dan at-ta’dil sebagain berikut ,
علم يبحث عن  الرواة من حيث ماورد فى شا نهم ممايشنيهم اويزكيهم با لفا ظ مخصوصة                                                                        
Ilmu yang membahas rawi hadis dari segi yang dapat menunjukan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka, dengan lafazh tertentu.[10]
          Menurut Ibnu Adi (w. 365 H),dalam mukadimah kitabnya Al-kamil,penilaian terhadap para rawi ini telah dimulai sejak para sahabat. Diantara para sahabat yang sering memberikan penilaian terhadap rawi hadis ini adalah Ibnu Abbas (w. 68 H),Ubaidah Ibnu Tsamit (w. 34 H), dan Anas bin Malik (w. 93 H).
          Ulama yang sering memberikan penilaian pada zaman tabi’in adalah Asy-Syabi (w.103 H), Ibnu Sirin (w. 110 H), said Ibnu Al-Musayyab (w. 94 H), Pada masa tabiin ini masih sedikit orang yang dipandang cacat, namun setelah abad ke-2 Hbanyakditemukan orang-orang yang dianggap lemah dalam meriwayatkan hadis. Kelemahan mereka adalah meng-isral-kan hadis, adakalanya karena me-marfu’-kan hadis yang sebenarnya mauquf, dan karena ada beberapa kesalahan yang tidak disengaja, seperti yang dilakukan oleh Abu Harun Al-Abdari (w. 143 H).
          Diantara pemuka-pemuka jarh wa at-ta’dil Yahya Ibnu Main (w. 233 H), Ahmad ibnu Hambal (w. 241 H), Muhammad ibnu Sa’ad (w. 230 H), ali Ibnul Madani (w. 234 H), Abu Bakar Ibnu Syaibah (w. 235 H), Ishaq Ibnu rahawali (w. 237 H). sesudah itu Ad-Darimi (w. 255 H), Al-Bukhari (w.256 H), Al-Ajali (w.261 H), Muslim (w.252 H), Abu Zurah (264 H), Baqi Ibnu Mukhallad (276 H), Abu Zurah Ad-Dimasyqi (w. 281 H).
  1. Pertumbuhan Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil
Ilmu Al-jarh wa at-ta’dil tumbuh bersama tumbuhnya periwayatan dalam Islam. Karena untuk mengetahui khabar-khabar yang shahih diperlukan pengetahuan tentang para perawinya, yakni pengetahuan yang memungkinkan ahli ilmu menilai kejujuran atu kedustaannya, sehingga mereka bisa membedakan antara yang bisa  diterima dari yang ditolak. Oleh karena itu mereka selalu bertanya tentang keadaan para perawi dan melakukan penelitian di sela-sela kehidupan intelektual mereka.
Di samping yang kami riwayatkan tentang al-jarh wa at-ta’dil dari Rasulullah SAW, banyak pula khabar tentang pendapat-pendapat sahabat mengenai hal ini. Setelah sahabat, yang berbicara tentang hal ini adalah tabi’in, generasi sesudah tabi’in dan ahli ilmu sesudah mereka. Mereka menjelaskan hal ihwal para perawi, mengkritik dan menta’dil mereka dengan niat mencari ridha Allah SWT.
  1. Metode Ulama dalam Menjelaskan Hal-ihwal Para Perawi
·         Jujur dan tuntas dalam memberikan penilaian.
·         Kecermatan dalam meneliti dan menilai.
·         Mematuhi etika al-jarh.
·         Secara global menta’dil dan secara rinci dalam mentajrih.
  1. Syarat-syarat Penta’dil dan Pentajrih
Ulama’ sependapat atas kewajiban terpenuhinya syarat-syarat itu dalam diri penta’dil dan pentajrih. Siapa saja yang menekuni bidang ini harus memenuhi criteria alim, bertakwa, wara’i, jujur, tidak terkena  jarh, tidak fanatic terhadap sebagian perawi,  dan mengerti betul sebab-sebab jarh dan adl. Dan yang tidak memenuhi syarat-syarat itu, maka kritikannya terhadap perawi tidak bisa diterima.
  1. Ilm Asbab al-Wurud
Secara etimologis, “asbabul wurud” merupakan susunan idhafah yang berasal dari kata asbab dan al-wurud. Kata “asbab” adalah bentuk jamak dari kata “sabab”.
Menurut ahli bahasa diartikan dengan “al-habl” (tali), saluran yang artinya dijelaskan sebagai segala yang menghubungakan satu benda
Pengertian ilmu asbab al-wurud adalah :
علم يعرف به السبب الذي ورد لاجله الحديث والزما ن الذي جاء فيه                                                                        
Ilmu yang  menerangkan sebab-sebab Nabi SAW.menuturkan sabdanya dan masa-masanya Nabi SAW.menuturkan itu.[11]
         Ilmu ini sangat penting untuk memahami dan menafsirkan hadis serta mengetahui hikmah-hikmah yang berkaitan dengan wurud tersebut, atau mengetagui kekhususan konteks makna hadis, sebagaimana pentingnya asbab al-nuzul dalam memahami Al-Qur’an.
         Ulama yang mula-mula menyusun kitab asbab wurud al-hadis adalah Kaznah Al-jubari dan Abu Hafash ‘Umar Ibn Muhammad ibn Raja’ (339 H). kitab yang terkenal adalah kitab Al-bayan wa At-Ta’rif yang disusun oleh Ibrahim Ibn Muhammad al-Husaini (w.1120 H).
  1. Ilmu Mukhtalith Al – Hadits
هو ما يروىه ما وصف بنوع من انواع لاختلاط                                                                                                        
Hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang bersifatkan salah satu dari jenis ikhthilath (kekacauan).
Pertama, dapat diterima hadis dari rawi yang mengalami ikhtilath, apabila ia siqah dan rawi yang meriwayatkan darinya telah mendengarkan hadis tersebut sebelum terjadinya ikhtilath.
Kedua, Tertolak hadis dari seorang yang mengalami ikhtilath, apabila rawi yang meriwayatkan hadis darinya mendengarkan hadis setelah ia mengalami ikhtilath.
Ketiga; seorang mukhtalith riwayatnya tertolak apabila ia dla’if, baik orang yang meriwayatkannya mendengar sebelum ia mengalami ikhtilat, atau setelahnya. Yang demikian itu karena hadisnya tertolak karena illah (sebab) yang lain, bukan karena ikhtilath. Apabila disandarkan kepadanya ikhtilath, maka menolak hadisnya lebih utama.
Keempat; Mendiamkan hadis rijal mukhtalith yang siqah, apabila riwayat orang yang mendengarnya sebelum ikhtilath dan sesudahnya sehingga hadisnya diketahui derajatnya. Apabila ada kesesuaian dengan para rawi yang siqat, maka hadisnya dapat diterima, apabila tidak sesuai maka hadisnya tertolak.





BAB III
KESIMPULAN
Secara garis besar, ulama hadis mengelompokkan ilmu hadis tersebut kedalam dua bidang pokok, yakni ilmu hadis riwayah dan ilmu hadis dirayah.
·         Ilmu Hadis Riwayah adalah Ilmu yang membahas ucapan, perbuatan, ketetapan dan sifat – sifat Nabi SAW, periwayatannya, dan penelitian lafadz – lafadznya.
  • Ilmu hadits riwayah bertujuan memelihara hadis Nabi SAW. dari kesalahan dalam proses periwayatan atau dalam penulisan dan pembukuannya.
  • Usaha penghimpunan, penyeleksian, penulisan, dan pembukuan hadis secara besar-besaran dilakukan oleh ulama hadis pada abad ke 3 H.
  • Ilmu Hadis Dirayah adalah Ilmu yang membahas pedomaan-pedoman yang dengannya dapat diketahui keadaan sanad dan  matan.
  • Ilmu rijal al-hadis adalah ilmu yang membahas hal ikhwal dan sejarah para rawi dari kalangan sahabt, tabiin, dan atba’ al-tabiin.
  • Pada dasarnya, ilmu al-jarh wa at-ta’dil merupakan bagian dari ilmu rijal al-hadits, namun karena ia dipandang sebagai bagian yang terpenting, ilmu ini dijadikan ilmu yang berdiri sendiri.
  • Ilmu Asbab Al Wurudh adalah Ilmu yang  menerangkan sebab-sebab Nabi SAW.menuturkan sabdanya dan masa-masanya Nabi SAW.menuturkan itu.
  • Ilmu Mukhtalith Al- Hadis adalah Hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang bersifatkan salah satu dari jenis ikhthilath (kekacauan).






DAFTAR PUSTAKA
Yuslem, Nawir, DR. MA., 2010. Ulumul Hadis. Jakarta. PT Mutiara Sumber Widya,
Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj. 2007. Ushul Al- Hadits. Terj. M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq.                                                                                                      Jakarta. Gaya Media Pratama.
Suyadi, M. Agus Solahudin, dan Agus. 2009. Ulumul Hadis. CV. Pustaka Setia



[1] Nuruddin ‘Itr. Manhaj An-Naqd fi ‘Ulum Al-Hadis. Terj. Mujio. Andung : Remaja Rosda Karya. 1994. hlm. 13
[2] As-suyuthi. Tadrib Ar-Rawi fi Syarh Taqrib An-Nawawi. Beirut: Dar Al-Fikr. 1409H/1988. hlm. 5-6
[3] Ibid. hlm. 4.
[4] As-Suyuthi. Op. cit. hal. 5.
[5]As-Suyuthi, Tadrib al-Rawi h. 40.
[6] ‘Itr. Op. cit. hlm. 16
[7] M. Hasby Ash-Shiddiqiy. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Jakarta: Bulan Bintang. 1987. hlm. 153.
[8] ‘Itr. Op. cit. hlm. 77
[9] Ibid. hal. 78
[10] Shubhi As-Shalih. ‘Ulum Al-Hadis wa Mushthalahuh. Beirut:  Dar Al-Ilmnli Al-Malayin. 1997. hlm. 109.
[11] Soetari. Op. tic. hlm. 212.