Tuesday, July 31, 2012

Makalah Pengertian Supervisi Pendidikan




A. Latar Belakang

Pendidikan merupakan persoalan vital bagi setiap segi kamajuan dan perkembangan manusia pada khusunya dan bangsa pada umumnya. Kemajuan dalam segi pendidikan maka akan menentukan kualitas sumber daya manusia dan perkembangan bangsa yang kearah lebih baik dan maju. Peningkatan kualitas pendidikan tidaklah mudah melainkan membutuhkan waktu yang panjang dan keterlibatan berbagai komponen dan elemen.
Dewasa kini banyak orang berbicara tentang merosotnya mutu pendidikan. Di lain pihak banyak pula yang mengembor-gemborkan dan menandaskan bahwa perlu dan pentingnya rekonstruksi atau pembaharuan pendidikan dan pengajaran, ironinya sangat sedikit sekali para pemerhati dan pengkritisi pendidikan yang berbicara mengenai soal pemecahan masalahnya (problem solving) perbaikan pendidikan dan pengajarannya agar lebih maju dan mencapai tujuan pendidikan yang hakiki.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan yang berperan sebagai salah satu wakil dari pemerintah pusat Indonesia maka peran sekolah berkewajiban untuk dapat mencapai tujuan pendidikan nasional. Dalam organisasi sekolah, kedudukan kepala sekolah merupakan faktor penentu, pengerak segala sumber daya yang ada dalam sekolah, agar segala komponen yang di dalamnya dapat berfungsi secara maksimal dalam meningkatkan mutu pendidikan. Kelapa sekolah yang berfungsi sebagai edukator, manajer, administrator, leader, motivator dan supervisor sekolah.
Guru memiliki peran yang sangat besar, besarnya tanggung jawab guru dalam pendidikan merupakan tantangan bila dikaitkan dengan mutu pendidikan dewasa kini. Keluhan masyarakat terhadap merosotnya mutu pendidikan seharusnya dapat menjadi refleksi bagi para guru yang tidak kompeten dan profesional. Guru profesional bukan hanya sekedar dapat menguasai materi dan sebagai alat untuk transmisi kebudayaan tetapi dapat mentransformasikan pegetahuan, nilai dan kebudayaan kearah yang dinamis yang menuntut produktifitas yang tinggi dan kualitas karya yang dapat bersaing.
Dalam konteks ini sebenarnya guru yang kurang profesional sangat membutuhkan bimbingan dan arahan dari orang lain atau supervisor dalam memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi untuk mencapai tujuan pendidikan, misalnya seperti masalah kurang pahamnya tujuan pendidikan, tujuan kulikuler, serta tujuan instruksional dan oprasional. Sehingga peran guru yang sangat besar dalam meningkatkan mutu pendidikan akan dapat tercapai jika semua permasalahan yang dihadapi oleh para guru dapat dipecahkan dengan baik. Dan seorang yang di sebut supervisor yang mempunyai fungsi sebagai pembimbing, mengarahkan, membantu dalam hal ini adalah Kepala Sekolah (supervisor) yang setiap hari langsung berhadapan dengan guru.
Supervisi merupakan salah satu fungsi kepala sekolah untuk meningkatkan kualitas dan profesionalisme guru dalam melaksanakan pengajaran. Sehubungan dengan pentingnya aktifitas supervisi sekoalah yang berkaitan dengan peningkatan kualitas guru pada khususnya dan peningkatan mutu pendidikan pada umumnya, maka dalam penulisan makalah ini akan dibahas seputar aktivitas supervisi pendidikan atau sekolah dalam upaya meningkatkan kualitas mutu pendidikan Indonesia.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang dijelaskan diatas, maka dapat di tarik rumusan permasalahannya antara lain:
1. Apa pengertian dan fungsi supervisi pendidikan?
2. Bagaimana tujuan dan prinsip dari supervisi pendidikan?
3. Bagaimana teknik dan perilaku dari supervisi pendidikan?

BAB II
Menurut P. Adams dan Frank G. Dickey, supervisi adalah program yang berecana untuk memperbaiki pengajaran. Inti dari supervisi pada hakekatnya adalah memperbaiki hal belajar dan mengajar. Program ini dapat berhasil bila supervisor memiliki ketrampilan (skill) dan cara kerja yang efisien dalam kerjasama dengan orang lain (guru dan petugas pendidikan lainnya). Dalam “Dictionary of Education”, Good Carter, memberi pengertian supervisi adalah usaha dari petugas-petugas sekolah dalam memimpin guru-guru dan petugas-petugas lainnya, dalam memperbaiki pengajaran, termasuk menstimulir, menyeleksi pertumbuhan jabatan dan perkembangan guru-guru dan merevisi tujuan-tujuan pendidikan, bahan-bahan pengajaran dan metode pengajar dan evaluasi pengajaran.
Program supervisi bertumpu pada suatu prinsip yang mengakui bahwa setiap manusia itu sudah mempunyai potensi yang dapat dikembangkan. Menurut H. Burton dan Leo J. Brucker, Supervisi adalah teknik pelayanan yang tujuannya mempelajari dan memperbaiki secara bersama faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Maka dari uraian definisi-definisi tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa fungsi dari supervise adalah memajukan dan mengembangkan pengajaran sehingga proses belajar mengajar yang di lakukan oleh seorang guru berlangsung dengan baik dan efektif.
Dengan demikian hakekat supervisi adalah suatu aktivitas proses pembimbingan dari pihak atasan kepada para guru dan para personalia sekolah lainnya yang langsung menangani belajar para peserta didik, untuk memperbaiki situasi belajar mengajar agar para peserta didik dapat belajar secara efektif dan efisien dengan prestasi dan mutu belajar yang semakin meningkat. Sedangkan yang melakukan aktivitas supervisi disekolah tersebut adalah kepala sekolah (supervisor).
Nilai supervisi ini terletak pada perkembangan dan perbaikan situasi belajar mengajar yang direfleksikan pada perkembangan yang tercapai oleh peserta didik. Dan istilah pembimbingan di atas cenderung mengacu kepada usaha yang bersifat demokratis atau manusiawi yang tidak bersifat otoriter. Kemudian yang dimaksud sebagai pihak atasan, disamping dalam arti hierarki, akan tetapi jiga dalam arti kewenangan dan kompetensi dalam bidang supervisi. Memperbaiki situasi bekerja belajar mengajar secara efektif dan efisien tergantung makna didalamnya bekerja dan belajar secara berdisiplin, bertanggung jawab, dan memnuhi akuntabilitas.
Supervisor akan berfungsi, bila supervisor dipandang sebagai bagian atau oragan dari organisasi sekolah. Dan bila dipandang sebagai sesuatu yang ingin dicapai supervisi, maka hal itu merupakan tujuan dari supervisi. Maka fungsi dan tujuan supervisi sangat berhubungan dengan erat, dan keduanya menyangkut hal yang sama. Hal ini dibedakan agar informasi yang diberikan nanti menjadi lebih lengkap.
Fungsi supervisi dapat dibedakan menjadi dua bagian besar antara lain:
a. Fungsi utama ialah membantu sekolah yang sekaligus mewakili pemerintah dalam usaha mencapai tujuan pendidikan yaitu membantu mengembangkan potensi individu peserta didik.
b. Fungsi tambahan ialah membantu sekolah dalam membina para guru dan staf personalia agar ingin bekerja dan mengajar dengan baik dan dalam mengadakan kontak dengan masyarakat dalam rangka menyesuaikan diri dengan tuntutan masyarakat serta mempelopori kemajuan masyarakat sekitar.
Sesudah membahas fungsi-fungsi dari supervisi di atas, maka telah sampailah uraian ini pada tujuan supervisi. Tujuan supervisi ialah memperkembangkan situasi belajar dan belajar yang lebih baik dan efektif. Usaha perbaikan belajar dan mengajar ditujukan pada pencapaian tujuan akhir dari pendidikan yaitu, pembentukan pribadi anak yang utuh dan maksimal.
Secara nasional tujuan konkrit dari supervisi pendidikan antara lain:
1. Membantu guru melihat dengan jelas tujuan-tujuan pendidikan.
2. Membantu guru dalam membimbing pengalaman belajar murid.
3. Membantu guru dalam menggunakan alat pelajaran modern, metode-metode dan sumber-sumber pengalaman belajar.
4. Membantu guru dalam menilai kemajuan murid-murid dan hasil pekerjaan guru itu sendiri.
5. Membantu guru-guru baru di sekolah sehingga mereka merasa gembira dengan tugas yang diperolehnya.
6. Membantu guru-guru agar waktu dan tenaganya tercurahkan sepenuhnya dengan baik dalam pembinaan sekolah.
C. Prinsip-prinsip Supervisi Pendidikan
Seorang kepala sekolah atau selaku pemimpin sekolah yang berfungsi sebagai supervisor. Dan dalam melaksanakan tugasnya idealnya bertumpu pada prinsip-prinsip supervisi yang sudah ditentukan. Supervisi merupakan bagian integral dari program pendidikan. Ia adalah jasa yang bersifat kooperatif dan mengikutsertakan, sehingga para guru hendaknya dapat dilibatkan seberapa dapat dalam pengembangan supervisi.

Berikut ini adalah beberapa prinsip pokok tentang supervisi antara lain:
a. Ilmiah yang mencakup unsure-unsur:
 Sistematika artinya dilaksanakan secara teratur, berencana dan kontinyu.
 Obyektif artinya data yang didapat pada observasi yang nyata dan buka tafiran pribadi.
 Menggunakan alat (instrument) yang dapat member informasi sebagai umpan balik untuk mengadakan penilaian terhadap proses belajar mengajar.
b. Demokratis, yaitu menjunjung tinggi asas musyawarah, memiliki jiwa kekeluargaan yang kuat serta sanggup menerima pendapat orang lain.
c. Kooperatif, maksudnya ialah seluruh staf dapat bekerja bersama, menggembangkan usaha bersama dalam menciptakan situasi belajar mengajar yang lebih baik.
d. Konstruktif, dan kreatif yaitu membina inisiatif guru serta mendorongnya untuk aktif menciptakan suasana dimana tiap orang merasa aman dan dapat menggunakan potensi-potensinya dengan baik dan maksimal.
Bahwa menjadi seorang supervisor tidak sedikit masalah yang dihadapi dalam menjalankan tugasnya. Oleh karena itu dalam usaha memecahkan masalah-masalah ini hendaknya berpegang teguh pada pancasila yang merupakan falsafah bangsa dan prinsip asasi yang merupakan landasan utama dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai supervisor.
D. Teknik dan Model Supervisi Pendidikan
Menurut Prof. Dr. Sutisna Oteng, dalam bukunya memaparkan ada sejumlah teknik supervisi yang dipandang perlu dan bermanfaat untuk meransang dan mengarahkan perhatian para guru terhadap kurikulum dan pengajaran, untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang bertalian dengan mengajar dan belajar, dan untuk menganalisis kondisi-kondisi yang mengelilingi mengajar dan belajar. Dan berikut ini adalah teknik-teknik supervisi yang dipandang bermanfaat, antara lain:
1. Kunjungan kelas.
2. Pembicaraan individual.
3. Diskusi kelompok.
4. Demonstrasi mengajar.
5. Kunjungann kelas antar guru.
6. Pengembangan kurikulum.
7. Buletin Supervisi.
8. Perpustakaan professional.
9. Lokakarya, dan
10. Survey sekolah-masyarakat.
Adapun teknik yang diterapkan dalam memberikan supervisi kepada guru dapat dilakukan dengan pendekatan langsung (direktif), pendekatan tidak langsung (non direktif), dan pendekatan kolaboratif.
a. Teknik pendekatan langsung (direktif)
Pendekatan langsung maksudnya adalah pendekatan terhadap masalah dengan cara langsung. Supervisor atau kepala sekolah mengadakan supervisi secara langsung, prinsip yang dilakukan adalah menjelaskan, menyajikan, mengarahkan, member contoh dan menguatkan.
Teknik secara langsung ini bisa bersifat, 1) individual, seperti kunjungan kelas, observasi kelas, percakapan pribadi, intervensi, menyeleksi berbagai sumber yang digunakan untuk mengajar dan melihat cara dan hasil evaluasi; 2) kelompok, yaitu pendekatan yang dapat dilakukan dengan bentuk-bentuk rapat guru, panitia penyelenggaraan kegiatan sekolah, studi kelompok guru, dan workshop.
b. Teknik pendekatan tidak langsung (non direktif)
Teknik supervisi tidak langsung adalah pendekatan masalah pengajaran yang sifatnya tidak langsung menunjukan permasalahan, melainkan seorang guru bercerita mengemukakan permasalahan yang mereka alami. Supervisor atau kepala sekolah menyimpulkan permasalahan guru tersebut kemudian member bimbingan dan mengarahkan.
c. Teknik pendekatan kolaboratif
Teknik pendekatan kolaboratif adalah pendekatan yang dilakukan antara kepala sekolah dan guru bersama-sama bersepakat (consensus) untuk menetapkan struktur, proses, dan criteria dalam melaksanakan pembelajaran.
Sedangkan model supervisi adalah pola yang dilakukan oleh seorang supervisor untuk melakukan kegiatan supervisi. Pola supervisi berkembang sesuai dengan dinamika ilmu pengetahuan, yaitu:
1. Pola konvensional yaitu pola supervisi dimana seorang kepala sekolah menunjukan kekuasannya yang otoriter dan feudal. Perilaku yang dilakukan dalam supervisi adalah mengadakan inspeksi untuk mencari kesalahan dan menemukan kekurangan.
2. Pola supervisi klinis yaitu pola supervisi yang difokuskan pada peningkatan mengajar melalui siklus yang sistematis, mulai dari perencanaan, pengamatan serta analisis yang intensif da cermat tentang penampilan mengajar dengan tujuan mengadakan perubahan secara ilmiah dan rasional.
E. Perilaku Supervisi Pendidikan
Perilaku supervisi pendidikan adalah supervisi yang dilakukan oleh kepala sekolah atau supervisor terkait dalam rangka meningkatkan kinerja guru untuk mencapai tujuan yang telah ditetukan. Ada dua kegiatan yang terdapat dalam supervisi, yaitu kegiatan pengumpulan data dan pembinaan. Kegiatan pengumpulan data adalah kegiatan supervisi untuk mengumpulkan bahan atau masalah yang dihadapi oleh para guru dalam proses belajar mengajar. Kegiatan pembinaan adalah tindak lanjut dari kegiatan pengumpulan data sehingga pembinaan yang dilakukan oleh kepala sekolah berdasar atas data yang ditemukan dilapangan.
Dalam pelaksanan pengumulan data dan pembinaan seorang supervisor harus berpengang teguh pada prinsip-prinsip yang sudah ditentukan. Agar dalam pelaksanaan supervisi antara kepala sekolah dan para guru terjalin hubungan yang harmonis, dan harus bersifat obyektif, kooperatif, dan konstruktif sehingga diharapkan hal ini dapat menampung aspirasi da kebutuhan para guru dan staf personalia berkenaan dengan masalah-masalah yang mereka hadapi. Dan perilaku supervisi dapat dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung, tergantung konteks yang terjadi dilapangan.


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian diatas maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa supervisi mempunyai tujuan yang jelas dan sangat baik yaitu membimbing dan membantu kesulitan para guru dalam mengarajar dan belajar agar dapat tercapainya tujuan pembelajaran yang efektif dan efisien pada khusunya dan peningkatan kualitas mutu pendidikan pada umumnya. Dan dalam pelaksanan supervisi maka harus berpengang teguh pada prinsip-prinsip yang sudah ditentukan.
Supervisi yang dilakukan oleh kepala sekolah sebaiknya tidak hanya kepada para guru saja, namu hendaknya kepada seluruh elemen sekolah yang disertai tugas-tugas tertentu seperti bagian, administrasi tata usaha, perpustakaan, laboratorium, ekstra kurikuler dan bagian tugas lainnya. Sehingga dalam kenyataannya supervisi tidak hanya dijadikan sesuatu aktifitas kelengkapan atau penyempurnaan struktural oraganisasi sekolah.


• Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1999, Jakarta, Tugas Pokok dan Fungsi Kepala Sekolah/Madrasah, Materi Pelatihan Calon Kepala Sekolah/Madrasah, Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan Menengah Umum.
• Sahertian. Piet. A. dan Mataheru. Frans, 1981, Surabaya, Prinsip dan Teknik Supervisi Pendidikan, USAHA NASIONAL.
• Soetopo. Hendiyat dan Soemanto. Wasty, 1988, Jakarta, Kepemimpinan dan Supervisi Pendidikan, PT BINA AKSARA.
• Masngud, SULUH, Vol. 3 No.1 Januari-April 2010, Supervisi Pendidikan, Jurnal Pendidikan Islam.
• Sutisna. Oteng, 1989, Bandung, Administrasi Pendidikan (Dasar Teoritis Untuk Praktek Profesional), ANGKASA.
• H.A.R. Tilaar, 2002, Jakarta, Memebenahi Pendidikan Nasional, Rineka Cipta.

Makalah Pengertian Ushul Fiqih

BAB I

1.1.    Latar Belakang Masalah

Masalah ijtihad merupakan masalah yang amat penting dalam ushul fiqh, karena dengan begitulah seseorang bisa menghsilkan suatu hukum yang masih bersifat zhanny dari keterangan –  keterangan al – qur’an dan sunah untuk memperoleh suatu hukum syara’ yang dapat diamalkan. Akan tetapi pada masa kini banyak sekali orang melakukan ijtihad tanpa di kaitkan dengan metodenya dan kurang berkompetennya seseorang yang melakukan ijtihad ( mujtahid).
                Karena pentingnya masalah ini disertai dengan diberikannya tugas dari dosen pembimbing kepada kami yang berhubungan dengan masalah ini, akhirnya kami memberi judul pada makalah ini dengan “ Ijtihad dan Metode dalam berijtihad”.

1.2. Rumusan Masalah

                Seiring dengan terterannya latar belakang masalah diatas, maka munculah beberapa masalah yang dititik beratkan penelitian kami pada pembahasan yang mengenai :
a) apa sih ijtihad dan mujtahid itu ??
b) kriteria apa sajakah yang harus dipenuhi bagi seorang mujtahid??
c)  cara – cara dan hal – hal yang harus diperhatikan ketika berijtihad??

1.3. Pembatasan Masalah
                Dengan timbulnya beberapa masalah diatas maka kami hanya membatasi pada makalah ini pada ijtihad dan metodenya sesuai dengan qaidah ushul fiqh.

1.4. Tujuan Penulisan
                Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
a) agar seseorang bisa mengetahui perkara bagaimanakah yang harus dipilih
b) agar seseorang tidak mudah mengatakan bahwa dirinya sebagai mujtid

1.5.  Manfaat Penulisan
                Mudah – mudahan makalah ini bisa menjadi pegangan kita kedepan, mengenai hukum yang harus diambil dan ditinggalkan. Dan diharapkan makalah ini bisa dijadikan sebagai bahan referensi pembelajaran dalam mata kuliyah ushul fiqh. Serta dapat dijadikan sebagai pertimbangan sebagai  pelaksanaan tugas mata kuliyah ini.


















BAB II
  A. Devinisi
       Kata ijtihad berasal dari kata kerja yaitu   اِجْتَهَدَ(bersungguh – sungguh ). Sedangkan ijtihad menurut istilah ushul fiqh adalah :
بَذْلُ الْفَقْيْهِ وُسْعَهُ وَطُلَبُ الْعِلْمِ بِأَحْكَمِ الشَّرْعِيَّةِ
"seorang ahli fiqih yang mencurahkan kesanggupannya dan berusaha keras untuk mendapatkan satu ilmu tentang hukum syari’at”.
            Dari istilah diatas dapat diketahui bahwa seorang ahli fiqih atau ahli agama mengerahkan usahanya dan bersengguh – sungguh hingga tingkat maksimal, guna menyelidiki dan memeriksa keterangan – keterangan dalam al – quran dan sunah untuk memperoleh sangkaan yang kuat atau hukum yang bersifat zhanny, dalam meng-istinbat-kan suatu hukum syara’ untuk diamalkan.

B. Syarat – syarat mujtahid
a) Mengerti bahasa arab
b) Mengerti tentang al – quran dan nasikh mansukh
c) Mengerti tentang sunnah
d) Mengetahui hal – hal yang di ijma’ kan dan yang di ikhtilaf kan
e) Mengerti tentang qiyas
f) Mengetahui maksud – maksud hukum
g) Berhati bersih dan berniat lurus

            Masalah – masalah yang menjadi lapangan ijtihad adalah masalah – masalah yang bersifat zhanny, yakni hal – hal yang belum jelas dalilnya baik dalam al – quran maupun hadis. Adapun hal – hal yang bersifat qat’iy, yakni hal – hal yang telah tegas dalilnya seperti wajibnya shalat, zakat, puasa dan lain – lain tidak ada ijtihad padanya.
            Mengenai kedudukan hasil ijtihad dalam masalah fiqih ada golongan yang berpendapat bahwa, tiap – tiap mujtahid adalah benar dengan alasan karena dalam masalah tersebut Allah tidak menentukan hukum tertentu sebelum di ijtihadkan. Adapun dalil yang mengenai masalah ini sebagai berikut : 
مَنِ اجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَمَنْ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌوَاحِدٌ (رواه البخارى و مسلم)
 “siapa yang berijtihad dan ternyata benar, maka mendapat dua pahala, dan (orang yang berijtihad ) ternyata salah maka dapat satu pahala”.


BAB III
Bagi para mujtahid memiliki beberapa metode atau cara untuk mencurahkan hasil ijtihadnya. Adapun metodenya adalah sebagai berikut :
Orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara' dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara' yang umum"
A. Devinisi 
Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama ushulfiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara', menuju (menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada suatu dalil syara' yang mengharuskan untuk meninggalkannya. Dalil yang terakhir disebut sandaran istihsan.
Qiyas berbeda dengan istihsan. Pada qiyas ada dua peristiwa atau kejadian. Peristiwa atau kejadian pertama belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan dasarnya. Untuk menetapkan hukumnya dicari peristiwa atau kejadian yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash dan mempunyai persamaan 'illat dengan peristiwa pertama. Berdasarkan persamaan 'illat itu ditetapkanlah hukum peristiwa pertama sama dengan hukum peristiwa kedua. Sedang pada istihsan hanya ada satu peristiwa atau kejadian. Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan untuk meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan itu, pindah kepada hukum lain, sekalipun dalil pertama dianggap kuat, tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu.
Dengan perkataan lain bahwa pada qiyas yang dicari seorang mujtahid ialah persamaan 'illat dari dua peristiwa atau kejadian, sedang pada istihsan yang dicari ialah dalil mana yang paling tepat digunakan untuk menetapkan hukum dari satu peristiwa.

Yang berpegang dengan dalil istihsan ialah Madzhab Hanafi, menurut mereka istihsan sebenarnya semacam qiyas, yaitu memenangkan qiyas khafi atas qiyas jali atau mengubah hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar ketentuan umum kepada ketentuan khusus karena ada suatu kepentingan yang membolehkannya. Menurut mereka jika dibolehkan menetapkan hukum berdasarkan qiyas jali atau maslahat mursalah, tentulah melakukan istihsan karena kedua hal itu pada hakekatnya adalah sama, hanya namanya saja yang berlainan. Disamping Madzhab Hanafi, golongan lain yang menggunakan istihsan ialah sebagian Madzhab Maliki dan sebagian Madzhab Hambali.
Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Madzhab Syafi'i. Istihsan menurut mereka adalah menetapkan hukum syara' berdasarkan keinginan hawa nafsu. Imam Syafi'i berkata: "Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah menetapkan sendiri hukum syara' berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang yang berhak menetapkan hukum syara' hanyalah Allah SWT." Dalam buku Risalah Ushuliyahkarangan beliau, dinyatakan: "Perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah Ka'bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara' untuk menentukan arah Ka'bah itu."
Jika diperhatikan alasan-alasan yang dikemukakan kedua pendapat itu serta pengertian istihsan menurut mereka masing-masing, akan jelas bahwa istihsan menurut pendapat Madzhab Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi'i. Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi'i, istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak. Seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu asy-Syathibi dalam kitabnya Al-Muwâfaqât menyatakan: "orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannyya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara' dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara' yang umum".

Ditinjau dari segi pengertian istihsan menurut ulama ushul fiqh di atas, maka istihsan itu terbagi atas dua macam, yaitu:
1) Pindah dari qiyas jali kepada qiyas khafi, karena ada dalil yang mengharuskan pemindahan itu.
2) Pindah dari hukum kulli kepada hukum juz-i, karena ada dalil yang mengharuskannya. Istihsan macam ini oleh Madzhab Hanafi disebut istihsan darurat, karena penyimpangan itu dilakukan karena suatu kepentingan atau karena darurat.
Contoh istihsan macam pertama:
- Menurut Madzhab Hanafi: sisa minuman burung buas, seperti sisa burung elang burung gagak dan sebagainya adalah suci dan halal diminum. Hal ini ditetapkan dengan istihsan. Menurut qiyas jali sisa minuman binatang buas, seperti anjing dan burung-burung buas adalah haram diminum karena sisa minuman yang telah bercampur dengan air liur binatang itu diqiyaskan kepada dagingnya. Binatang buas itu langsung minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke tempat minumnya. Menurut qiyas khafi bahwa burung buas itu berbeda mulutnya dengan mulut binatang huas. Mulut binatang buas terdiri dari daging yang haram dimakan, sedang mulut burung buas merupakan paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk dan tulang atau zat tanduk bukan merupakan najis. Karena itu sisa minum burung buas itu tidak bertemu dengan dagingnya yang haram dimakan, sebab diantara oleh paruhnya, demikian pula air liurnya. Dalam hal ini keadaan yang tertentu yang ada pada burung buas yang membedakannya dengan binatang buas. Berdasar keadaan inilah ditetapkan perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.
Contoh istihsan macam kedua
- Syara' melarang seseorang memperjualbelikan atau mengadakan perjanjian tentang sesuatu barang yang belum ada wujudnya, pada saat jual beli dilakukan. Hal ini berlaku untuk seluruh macam jual beli dan perjanjian yang disebut hukum kuIIi. Tetapi syara' memberikan rukhshah (keringanan) kepada pembelian barang dengan kontan tetapi barangnya itu akan dikirim kemudian, sesuai dengan waktu yang telah dijanjikan, atau dengan pembelian secara pesanan (salam). Keringanan yang demikian diperlukan untuk memudahkan lalu-lintas perdagangan dan perjanjian. Pemberian rukhshah kepada salam itu merupakan pengecualian (istitana) dari hukum kulli dengan menggunakan hukum juz-i, karena keadaan memerlukan dan telah merupakan adat kebiasaan dalam masyarakat.
Istislah menurut bahasa adalah kebaikan. Sedangkan istishlah yang dimaksudakna oleh ahli ushul fiqih adalah :
أَنْ يُوْجَدَمَعْنًى يُشْعِرُ بِالْحُكْمِ مُنَاسِبٌ عَقْلاَوَلاَيُوْجَدُاَصْلٌ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
“bahwa terdapat satu makna yang dirasa ketentuan itu cocok dengan akal sedang dalil yang di sepakati tentang  ( hal tersebut ) tidak terdapat.”
Contoh :
·      Dalam al – quran dan hadits tidak terdapat dalil yang menyuruh dan melarang pengumpulan al – quran. Tetapi karena dalam hal tersebut terdapat satu makna yang mengandung kemaslahatan menurut pertimbangan akal, maka yang demikian itu dilakukan. Alasan tersebutlah yang dinamakan dengan istislah ( maslahatul mursalah).
·         Larangan minum racun, tidak terdapat dalam al – quran dan hadits dengan tegas. Tetapi dalam hal ini akal menetapkan akan makna kerusakan yang di kandungnya. Oleh karena itu, ditetapkanlah bahwa terlarang meminumnya. Alasan - alasan hingga terlarang yang demikian itulah yang dinamakan istislah ( maslahatul mursalah ).
          Adapun alasan para ulama membolehkan berdalil dengan istislah (maslahatul mursalah) adalah : bahwa sanya Allah mengutus rasul – rasul bertujuan untuk kemaslahatan atau kemanfaatan manusia. Demikian juga Allah menurunkan syariatnya adalah untuk kemaslahatan manusia. Sedangkan istislah ( maslahatul mursalah ) sama pula tujuannya. Oleh karena itu, syekh ibnu taimiyah berkata bahwa “apabila seseorang mendapat kesulitan dalam memeriksa hukum sesuatu, apakah hukumnya mubah atau haram, maka lihatlah maslahah
( kebaikan ) dan mafsadah ( kerusakan) nya sebagai dasar.
      Diantara mazhab yang dikenal banyak memakai istislah ( maslahatul mursalah ) dalam menetapkan hukum adalah Malik bin Annas atau yang dikenal dengan sebutan “Imam Malik”.


A. Definisi
Istishab menurut bahasa berarti ”mencari sesuatu yang ada hubungannya”. Menurut istilah ulama fiqh, ialah tetap berpegang pada hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau kejadian sampai ada dalil yang mengubah hukum tersebut. Atau dengan kata lain, ialah menyatakan tetapnya hukum pada masa lalu, sampai ada dalil yang mengubah ketetapan hukum tersebut.
Menurut Ibnu Qayyim, istishab ialah menyatakan tetap berlakunya hukum yang telah ada dari suatu peristiwa, atau menyatakan belum adanya hukum suatu peristiwa yang belum pernah ditetapkan hukumnya. Sedangkan menurut Asy Syatibi, istishab ialah segala ketetapan yang telah ditetapkan pada masa lampau dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa sekarang.
Dari pengertian istishab di atas, dapat dipahami bahwa istishab itu ialah:
1) Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tetap berlaku pada masa sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubahnya.
2) Segala hukum yang ada pada masa sekarang, tentu telah ditetapkan pada masa yang lalu.
Contoh :
Muhammad telah menikah dengan Aisyah, kemudian mereka berpisah selama 15 tahun,karena telah lama mereka berpisah lalu Aisyah ingin menikah lagi dengan lelaki lain, dalam hal ini Aisyah belum bisamenikah lagi karena ia masih terikat tali perkawinan dengan Muhammaddan hukum tali perkawinan walaupun mereka telah berpisah.

Kaidah-kaidah istishab antara lain:
- الْاَصْلُ بَقَاءُ مَاكَانَ عَلَى مَاكَانَ حَتَّى يَثْبُتُ مَا يُغَيِّرُهُ”(pada asalnya segala sesuatu itu              tetap (hukumnya) berdasarkan ketentuan yang telah ada sehingga ada dalil yang merubahnya)”
 -الْاَصْلُ فِي اْلاَشيَاءِ الْاِ بَاحَة “(pada asalnya hukum segala sesuatu itu boleh)”                          - الْاَصْلُ فِي الْاِنْسَانِ اْلبَرَاءَةُ “(manusia pada asalnya adalah bebas dari beban)”                         -مَاثَبَتَ بالْيَقِيْنِ لَايَزُوْلُ  بِالشَّكِّ وَلَايَزُوْلُ اِلَّا مِثْلُهُ                                                                          “(apa yang telah ditetapkan dengan yakin, maka ia tidak bisa gugur karena keragu-raguan.  Dan Ia tidak bisa gugur kecuali dengan yakin juga)”
Maka orang yang yakin bahwa ia masih mempunyai wudhu’ dan ragu-ragu jika dirinya telah batal, maka ia dihukum masih mempunyai wudhu’, dan shalatnya sah. Hal demikian berbeda dengan pendapat ulama dari golongan Malikiyah yang berpedapat wajib berwudhu’ lagi. Sebab, menurut mereka tanggung jawab (beban)nya adalah menjalankan shalat dengan penuh keyakinan. Karena tanggung jawab tersebut tidak lepas kecuali dengan mengerjakan shalat dengan benar dan penuh keyakinan. Dan hal itu harus dilakukan dengan wudhu’ agar tidak diragukan kebatalannya.

A. Devinisi
Secara bahasa kata Sadd berarti menutup dan al-zariah berarti wasilah atau jalanan  kesuatu tujuan. Dengan demikian sadd adzariah berarti menutup jalan yang mencapaikan kepada tujuan. Dalam kajian ushul fiqh sebagaimana dkemukakan Abdul Karim Zaidah, Sadd Adz-zariah adalah menutup jalan yang membawa kebinasaan atau kejahatan. Sebagian ulama mengkhususkan pengertian dzariah dengan sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemudharatan. Akan tetapi, pendapat tersebut ditentang oleh para ulama ushul lainnya, diantaranya Ibnu Qattim Aj-Jauziyah yang menyatakan bahwa dzariah itu tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang, tetapi ada juga yang dianjurkan.
Contoh: haul (genap setahun) ia menghibahkan hartanya kepada anaknya sehingga dia terhindar dari kewajiban zakat.
Dikalangan ulama ushul terjadi perbedaan pedapat dalam menetapkan kehujjahan sadd adz-dzariah sebagai dalil syara’ ulama malikiyah dan hanafiah dapat menerima kehujjahannya sebagai salah satu dalil syara’. Alasan mereka antara lain:
Firman Allah dalam surat An An’am:
وَلَا تَسُّبُوْاالَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ فَيَسُبُّوْاالله عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمِ.. ﴿الانعم : 108
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan….(QS: An An’am:108)
Dalam ayat ini Allah melarang kaum muslimin memaki-maki orang musryikin atau Tuhan yang mereka sembah. Karena perbuatan yang demikian itu menjadi sebab mereka akan membalas memaki-maki Tuhan Allah SWT.
Sumber dari hadist antara lain, sabda Rasulullah:
“Sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang melaknat kedua orang tuanya, lalu Rasulullah SAW ditanya,”wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seseorang akan melaknat ibu bapak nya. Rasulullah SAW manjawab”seseoang yang mencaci maki ayah orang lain, maka ayahnya juga akan dicaci maki orang lain dan seseorang mencacimaki ibu orang lain, maka orang lain pun mencaci maki ibunya.(HR. bukhori dan Muslim).
Dari beberapa nash yang telah dikemukakan diatas, dipahami bahwa Islam melarang suatu perbuatan yang dapat menyebabkan sesuatu yang terlarang, meskipun perbuatan tersebut semulanya dibolehkan. Sementara dikalangan Hanafiyah, Syafi’iyah dan Syiah hanya menerima Sadd adz-Dzariah dalam masalah tertentu dan mereka tidakmenjadikannya sebagai dalil dalam masalah-masalah lain, misalnya, Imam Syafi’I membolehkan seseorang yang karena uzur, seperti sakit dan musafir meninggalkan sholat zuhur, namun orang tersebut hendaklah melaksanakan sholat zuhur secara diam-diam dan tersembunyi supaya tidak dituduh sengaja meniggalkan sholat jum’at. Begitu pula dengan orang yang tidak puasa Ramadhan karena uzur agar makan dan minum di tempat umum uuntuk menghindar fitnah terhadap orang tersebut. Pedapat-pendapat Imam Syafi’I ini dirumuskan atas dasar perinsip Sadd adz-Dzariah.

A.Definisi Qoul Shohabi
Terdapat beberapa definisi mengenai qoul shohabi ini, di antaranya:
1. Perkataan seorang sahabat yang tersebar pada sahabat-sahabat yang lainnya tanpa diketahui ada sahabat lain yang menentangnya.
2. Fatwa seorang sahabat atau madzhab fiqihnya dalam permasalahan ijtihadiyah.
3. Madzhab sahabat dalam sebuah permasalahan yang termasuk objek ijtihad.
4. Dr. Musthafa Daib Al-Bugha, mengistilahkan qoul shohabi dengan madzhab shohabi, yaitu segala hal yang sampai kepada kita dari salah seorang sahabat Rasul baik berupa fatwanya atau ketetapannya dalam permasalahan yang berkaitan dengan syari’at, yang tidak terdapat dalam nash Al-Qur’an dan As-Sunnah dan belum ada ijma’ dalam permasalahan tersebut.
Dari beberapa defini qoul shohabi di atas, penulis menyimpulkan bahwa qoul shohabi adalah hal-hal yang sampai kepada kita dari sahabat baik itu berupa fatwa atau ketetapannya, perkataan dan perbuatannya dalam sebuah permasalahan yang menjadi objek ijtihad. yang belum ada nash yang sharih baik dari Al-Qur’an atau As-Sunnah yang menjelaskan hukum permasalahan tersebut.
Para ulama membagi qoul shohabi ke dalam beberapa macam, di antaranya Dr. Abdul karim Zaedan yang membaginya ke dalam beberapa macam:
1. Perkataan sahabat terhadap hal-hal yang tidak termasuk objek ijtihad. Dalam hal ini para ulama semuanya sepakat bahwa perkataan sahabat bisa dijadikan hujjah. Karena kemungkinan sima’ dari Nabi Saw. sangat besar. Sehingga perkataan sahabat dalam hal ini bisa termasuk dalam kategori As-Sunnah, meskipun perkataan ini adalah hadits mauquf. Pendapat ini dikuatkan oleh Imam As-Sarkhasi dan beliau memberikan contoh perkataan sahabat dalam hal-hal yang tidak bisa dijadikan objek ijtihad, seperti, perkataan Ali bahwa jumlah mahar yang terkecil adalah sepuluh dirham, perkataan Anas bahwa paling sedikit haid seorang wanita adalah tiga hari sedangkan paling banyak adalah sepuluh hari.
Namun contoh-contoh tesebut ditolak oleh beberapa ulama As-Syafi’iyah, bahwa hal-hal tersebut adalah permasalahan-permaslahan yang bisa dijadikan objek ijtihad. Dan pada kenyataannya baik jumlah mahar dan haid wanita berbeda-beda dikembalikan kepada kebiasaan masing-masing.
2. Perkataan sahabat yang disepakati oleh sahabat yang lain. Dalam hal ini perkataan sahabat adalah hujjah karena masuk dalam kategori ijma’.
3. Perkataan sahabat yang tersebar di antara para sahabat yang lainnya dan tidak diketahui ada sahabat yang mengingkarinya atau menolaknya. Dalam hal inipun bisa dijadikan hujjah, karena ini merupakan ijma’ sukuti, bagi mereka yang berpandapat bahwa ijma’ sukuti bisa dijadikan hujjah.
Setelah dijelaskan di atas bahwa perkataan sahabat memiliki beberapa macam variasi, semua ulama sepakat bahwa perkataan sahabat yang diperselisihkan keabsahannya sebagai hujjah adalah :
1. Perkataan sahabat yang berasal dari pendapat dan ijtihadnya sendiri
2. Perkataan sahabat terhadap permasalahan yang bisa dijadikan objek ijtihad
3. Perkataan sahabat yang tidak tersebar di antara para sahabat yang lainnya dan tidak ada sahabat yang mengingkari pendapat tersebut.
4. Perkataan sahabat terhadap suatu permasalahan yang tidak ada nash yang sharih baik Al-Qur’an ataupun As-Sunnah.
5. Perkataan sahabat yang sampai kepada generasi sesudahnya, seperti tabi’in dan berlanjut hingga ke zaman sekarang.
Adapun perkataan sahabat selain dari keadaan yang sudah disebutkan di atas tidak dapat dijadikan hujjah dalam pengambilan hukum Islam.
Secara garis besar terjadi beberapa pendapat mengenai hal ini, seperti Ulama yang berpendapat bahwa qoul shohabi dapat dijadikan hujjah secara mutlak dan didahulukan dari pada qiyas. Di antaranya Imam Malik dan Imam Ahmad dalam satu riwayatnya.
Adapun dalil yang mereka pegang sehingga berpendapat bahwa qoul shohabi adalah hujjah secara mutlak yaitu:
a. Al-Qur’an
- Firman Allah swt,”Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”. (QS. 3:110)
-“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar”. (QS. 9:100)
- Firman Allah swt yang menerangkan kelebihan para sahabat secara umum, di antaranya: “Ikutilah orang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS. 36:21)
- “Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. 31:15)
b. As-Sunnah
- Rasulullah saw bersabda,” Sahabatku ibarat bintang, maka dimanapun kalian mengikutinya kalian akan mendapatkan petunjuk”.
- Rasulullah saw bersabda,” Hendaklah kalian mengikuti Sunnahku dan sunah khulafa ar-rasyidin setelahku…
- Diriwayatkan oleh tirmidzi dan huzaifah bahwa Rasulullah saw bersabda,” ikutilah oleh kalian orang-orang setelahku: Abu baker dan Umar”.
- Rasulullah saw bersabda,” Sebaik-baiknya generasi adalah generasi pada zamanku kemudian generasi setelahnya lalu genersi setelahnya lagi”. (HR. Muslim)
c. Ijma’
Ketika Abdurrahman bin ‘Auf menjadi ketua panitia pemilihankhalifah setelah Umar. Ia pertama kali menawarkan kepada Ali untuk menjadi khalifah dengan syarat mengikuti sunah kedua khalifah sebelumnya. Tapi Ali menolak. Kemudian ia menawarkan pada Utsman dengan syarat yang sama, Utsman pun menerimanya. Pada saat itu tidak ada seorang sahabatpun yang mengingkari syarat yang diajukan Abdurrahman bin’Auf itu sehingga sampai pada derajat ijma’.
d. Dalil Akal
- Kemungkinan sima’ dan taukif dalam perkataan sahabat sangat kuat. Dan secara kebiasaan tidak mungkin para sahabat berfatwa kecuali berdasarkan kepada riwayat yang didengarnya. Dan tidaklah para sahabat berfatwa berdasarkan pendapatnya kecuali dalam keadaan darurat.
- Bahwa perkataan sahabat meskipun bersumber dari akal atau ijtihad, maka ijtihadnya lebih kuat dari pada yang lainnya. Karena para sahabat menyaksikan langsung turunnya Al-Qur’an, dan mengetahui metode-metode Rasulullah Saw. dalam menyampaikan dan menjelaskan berbagai hukum dalam suatu permasalahan.

A. pengertian
            Yang dimaksud dengan syariat umat sebelum  Nabi Muhammad adalah syariat atau agama yang telah ada sebelum turunnya syariat islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Seperti agama yang dibawa oleh nabi Isa dengan kitab sucinya bernama injil, atau agama yang dibawa oleh nabi Musa dengan kitab sucinya bernama taurat, atau agama yang dibawa oleh nabi Daud dengan kitab  sucinya yang bernama zabur.     
            Hal ini dibicarakan dalam ilmu ushul fiqh, agar kita mengetahui boleh tidaknya mengikuti peraturan – peraturan agama yang dibawa oleh Nabi – Nabi sebelum nabi Muhammad, mengenai hal – hal ini ada yang telah disepakati dan ada juga yang diperselisihkan.
1. hal – hal yang disepakati
a) mengenai hukum – hukum agama sebelum islam, yang ternyata telah dihapus oleh islam, ulama telah sepakat tentang tidak bolehnya beramal dengannya
b) mengenai hukum – hukum agama sebelum islam, yang mana syariat islam (al–quran dan hadis) telah menetapkan berlakunya hukum tersebut, para ulama sepakat tentang wajibnya setiap muslim mengamalkannya.
2. hal – hal yang diperselisihkan
Yaitu nash al-quran ataupun matan hadis yang meriwayatkan tentang peraturan / hukum agama – agama sebelum islam, sedang nash atau matan hadis itu tidak secara tegas
melarang kita mengikutinya.
Sebagai contoh misalnya firman Allah yang berbunyi:
وَكَتَبْنَاعَلَيْهِمْ فِيْهآ أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسّنِّ وَالْجُرُوْحَ قِصَاصٌ...(المائدة : 54)
“dan kami wajibkan atas mereka (bani israil) dalam kitab taurat, bahwa jiwa dibalas dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka dengan luka, sebagai qishas…
            Sehubungan dengan ayat diatas, pendapat para ulama terbagi – bagi. Diantaranya:  
 1. berpendapat bahwa yang demikian wajib diikuti dan diamalkan, karena dengan
diceritakannya pada kita berarti merupakan syariat bagi kita, yang dibawa oleh rasul juga. Yang berpendapat seperti ini adalah golongan hanafiyah sebagian malikiyah dan syafi’iyah.
2. berpendapat bahwa, peraturan atau hukum agama – agama sebelum islam tidak boleh kita amalkan, karena kedatangan agama islam adalah menghapus sekalian hukum – hukum yang terdahulu.

‘Urf menurut bahasa adalah adat atau kebiasaan ( satu kebiasaan yang terus menerus ). Sedangkan urf menurut ulama usul fiqh adalah :
مَااِعْتَادَهُ النَّاسُ اَوْفِئَـةٌ مِنْهُمْ فِى مُعَامَلَاتِهِمْ وَيَسْتَقِـرُّ فِى نُفُوْسِهِمْ مِنَ اْللأُمُوْرِالْمُكَرَّرَةِ الْمَقْبُــوْلَةِ عِندَالطَّبْعِ السَّلِيْمَةِ
“sesuatu yang telah terbiasa ( dikalangan ) manusia atau  pada sebagian mereka dalam hal muamalat dan telah melihat / tetap dalam diri – diri mereka dalam beberapa hal secara terus menerus yang diterima oleh akal yang sehat.
Contoh :
- saling pengertian manusia terhadap jual beli, dengan cara saling memberikan tanpa ada shighat lafzhiyyah ( ungkapan melalui perkataan ).
Adapun tentang pemakaiannya, urf adalah sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dikalangan ahli ijtihad atau bukan ahli ijtihad, baik yang berbentuk kata – kata atau perbuatan. Dan sesuatu hukum yang di hukum tetapkan atas dasar urf dapat berubah karena kemungkinan adanya perubahan urf itu sendiri atau perubahan tempat, zaman, dan sebagainya. Seperti kejadian nyata yang terjadi pada imam syafi’I ketika imam syafii berada di irak mempunyai pendapat – pendapat yang berlainan dengan pendapat beliau sendiri setelah pindah ke mesir. Dikalangan ulama, pendapat imam syafi’I ketika diirak disebut quul qadim ( ucapan dahulu / lama), sedangkan pendapat di mesir adalah qaul jadid ( ucapan sekarang / baru ).